Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/02/2024, 18:00 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi


SOLO, KOMPAS.com – Kedua matanya terbuka lebar, alisnya terdorong naik. Ramanto Setro Taruno (58) antusias menyambut kedatangan Dwi Setyo Indratno pada medio Desember 2023.

Itu adalah kali pertama dirinya bertemu dengan kader atau politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Ia sedikit tak menyangka. Karena bagaimanapun, Ramanto telah melihat PKS sebagai partai politik (parpol) yang eksklusif untuk kelompok tertentu, jauh dari penghayat kepercayaan.

Baca juga: Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (I)

Ketua Paguyuban Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati itu mempersilakan Dwi singgah karena memang tak mau menolak siapa pun yang ingin bertemu atau berkunjung ke rumahnya.

Ia paham maksud kedatangan Dwi pada malam itu tak lain adalah untuk menggaet dukungannya dalam kontestasi pemilihan umum legislatif (Pileg) DPRD Kota Solo tahun 2024.

Dirinya terdaftar sebagai pemilih di daerah pemilihan (Dapil) 3 Kecamatan Banjarsari yang menjadi tempat Dwi bertarung memperebutkan suara.

Meski begitu, Ramanto memastikan dirinya tak pernah mengecilkan atau meremehkan ajakan politikus PKS itu untuk bertemu.

Ia justru mengapresiasi dan menyambut baik inisiatif Dwi. Ramanto gembira karena hal itu bisa menjadi indikasi kian banyak pihak yang mau merangkul kelompok penghayat kepercayaan.

Menurutnya, Pemilu memang semestinya dimanfaatkan sebagai ajang pemersatu, bukan malah mempertebal konflik perbedaan.

“Kalau saya, ambil sisi baiknya saja. Jika tak ada pemilu, pertemuan itu belum tentu akan terjadi bukan?” tutur Ramanto ketika bercerita dengan Kompas.com di Solo, Selasa (26/12/2023).

Ia mengatakan, ada beberapa hal yang telah dibahas bersama Dwi saat bersua. Salah satunya, Ramanto mengutarakan unek-unek soal nasib para penghayat yang masih menerima stigma negatif dari publik.

Ia menyesalkan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) kerap diasosisasikan sebagai aliran sesat dan musyrik. Penganutnya pun seringkali dianggap tidak punya nilai ketuhanan.

Padahal, tidaklah demikian. Pemeluk agama dan penganut kepercayaan pada hakikatnya sama-sama menyembah Tuhan. Letak perbedaannya, masing-masing punya cara beribadah sendiri.

Penghayat Kepercayaan di Solo ogah golput.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Penghayat Kepercayaan di Solo ogah golput.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, ia pun meminta kepada politikus PKS itu untuk dapat membantu meluruskan pandangan keliru di masyarakat.

“Secara umum saya mengajak Pak Dwi untuk turut serta menjaga semangat kebudayaan dan kebinekaan. Perlu dipahami bahwa ibadahnya seorang penghayat itu adalah menjaga dan melestarikan adat dan budaya leluhur sendiri,” terangnya.

Ramanto mengaku senang Dwi secara umum menunjukkan pemikiran yang terbuka terhadap keberadaan penghayat kepercayaan. Menurutnya, itu jauh dari apa yang ia sangka sebelumnya.

Pada gilirannya, Dwi bahkan sempat ikut prosesi jamasan yang diadakan oleh Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati, salah satu kelompok penghayat yang masih hidup di Solo, Jawa Tengah (Jateng).

Baca juga: Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (II)

Ramanto pun menaruh harap kepada Dwi agar tak menunjukkan keterbukaan hanya pada masa kampanye pemilu.

Baik terpilih atau tidak sebagai anggota Dewan, ia meminta Dwi terus menjaga hubungan baik dan mau ikut memperjuangkan pemenuhan hak-hak hidup kelompok penghayat, sebagaimana warga negara Indonesia (WNI) pada umumnya.

Realitasnya, Ramanto menuturkan, pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan juga belum optimal. Menurutnya, sebagian penghayat masih terkendala untuk mengakses layanan publik.

Misalnya, terkait perubahan identitas kepercayaan di KTP, beberapa aparat di lapangan belum sepenuhnya paham bahwa itu tidak perlu rekomendasi dari RT/RW atau kelurahan. Penghayat seharusnya bisa langsung mengurus KTP di Dispendukcapil.

Bahkan, masih ada juga aparat yang tidak tahu ada penganut kepercayaan sehingga membuat urusan administrasi tidak langsung ditindaklanjuti.

“Ya, tak hanya kepada Pak Dwi, kepada yang lain, saya juga menceritakan sejumlah tantangan yang masih dihadapi para penghayat. Harapannya tentu dapat ditindaklanjuti,” ucap sosok yang menjabat juga sebagai Ketua Majelis Luhur Kepercayaan kepada Tuhan YME Indonesia (MLKI) Cabang Solo itu.

Sepanjang 2023, Ramanto mengaku pernah juga didatangi calon anggota legislatif (caleg) dari parpol lain untuk dimintai dukungan maupun doa, termasuk dari PDI-P, Gerindra, dan Golkar.

Kepada mereka, Ramanto juga mengutarakan harapan, sikap terbuka terhadap penghayat khususnya dan keberagaman pada umumnya, lebih baik bukan hanya ditunjukkan oleh individu kader, melainkan menjadi sikap partai.

Komitmen parpol

Saat dimintai konfirmasi, Dwi Setyo Indratno membenarkan telah menemui Ramanto. Ia tidak menampik kedatanganya memang untuk meminta dukungan dari tokoh penghayat itu dalam agendanya maju Pileg DPRD Solo.

“Bicara politik ya ujung-ujungnya adalah suara, dan bagaimana kita berkomunikasi dengan siapapun tanpa membedakan latar belakang. Yang penting, kita punya visi bersama," kata Dwi.

Sebelum datang ke rumah Ramanto, ia mengaku paham sosok yang akan ditemuinya tersebut adalah seorang penganut aliran kepercayaan.

Wujud spanduk kampanye milik calon anggota Legislatif (Caleg) DPRD Solo dari PKS, Dwi Setyo Indratno, yang mengenakan blangkon. Spanduk terpasang di wilayah Kelurahan Banyuanyar, Banjarsari, Solo. Saat diwawancara, dia menegaskan bahwa, meski dari partai yang berasaskan Islam, ia tidak anti terhadap kebudayaan dan siap membantu para penghayat mengakses pemenuhan hak-haknya. Foto diambil pada Kamis (11/1/2024).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Wujud spanduk kampanye milik calon anggota Legislatif (Caleg) DPRD Solo dari PKS, Dwi Setyo Indratno, yang mengenakan blangkon. Spanduk terpasang di wilayah Kelurahan Banyuanyar, Banjarsari, Solo. Saat diwawancara, dia menegaskan bahwa, meski dari partai yang berasaskan Islam, ia tidak anti terhadap kebudayaan dan siap membantu para penghayat mengakses pemenuhan hak-haknya. Foto diambil pada Kamis (11/1/2024).

Dwi memastikan, itu tidak menyalahi aturan PKS yang mengusungnya maju dalam Pileg.

“Walaupun saya dari partai Islam, saya tetap harus berkomitmen memberikan kebermanfaatan bagi semua kelompok masyarakat. Jadi saya berusaha berkomunikasi dengan siapa pun. Basic saya kan juga dari lembaga sosial,” ucapnya.

Lagi pula, kata dia, sebagai orang Jawa, dirinya sudah terbiasa dengan perbedaan dan harus terus membangun semangat saling gotong-royong.

Baca juga: 475 Penghayat Kepercayaan di Magelang Telah Ubah KTP dan KK-nya

Dwi mengakui karakter warga Solo sangat kental, dan untuk mendapatkan dukungan, penting memahami dan menghargai budaya setempat.

Politikus PKS itu pun telah memilih untuk memasang foto diri dengan memakai blangkon di media-media kampanyenya sebagai simbol menjunjung kebudayaan.

Di beberapa pertemuan dengan masyarakat, ia juga kerap mengenakan penutup kepala lelaki dalam tradisi busana adat Jawa itu.

“Intinya, saya mau mengajak semua, yuk kita jadi sedulur (saudara), saling gotong-royong, bantu-membantu. Tak usah melihat latar belakang, yuk kita bersama-sama membangun kota kita, negara kita,” ungkapnya.

Saat disinggung, Dwi mengaku, tak punya target berapa banyak suara yang harus ia peroleh dari kelompok penghayat kepercayaan.

Dia memilih untuk membiarkan dukungan tersebut berkembang secara alami dan tidak memaksakan hasil yang diinginkan.

Meski demikian, Dwi tak menampik punya keinginan agar orang-orang yang telah ditemui bisa membagikan gagasan, program, atau visi-misi yang ia usung kepada komunitas masing-masing.

“Soal kampanye, saya itu lebih suka dengan metode door-to-door. Makanya saya jarang mengundang banyak orang atau mendatangi forum RT/RW. Jadi, saya lebih suka ‘nyekel (pegang)’ orang per orang. Yang saya lihat, komunikasinya jadi lebih enak dan fokus. Tentu menjadi harapan, mereka setelah itu akan mengajak yang lain (untuk memilihnya). Contohnya Pak Ramanto, oh beliau juga punya 35 anggota. Ini kan peluang (memperoleh suara),” ucapnya.

Lebih jauh, Dwi menyatakan komitmen siap mencoba membantu mengatasi setiap persoalan yang dihadapi para penghayat terkait dengan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara.

"Jika memang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, ya saya akan siap memperjuangkannya. Semisal, soal layanan perubahan identitas kepercayaan di KTP. Kalau memang masih ada kendala, saya dapat membantu berkomunikasi dengan instansi terkait,” ungkap dia.

Secara umum, Dwi membawa misi ingin membantu masyarakat mencapai kesejahteraan ketika maju dalam Pileg DPRD Solo kali ini. Kesejahteraan yang ia maksud yakni masyarakat bisa terpenuhi kebutuhannya.

Diwawancarai terpisah, Ketua DPD PKS Solo Daryono menegaskan, PKS adalah partai berasaskan Islam yang terbuka dan siap menerima siapa saja.

Jadi, terkait ada kader partai yang menangkap suara penghayat kepercayaan, menurutnya, bukan termasuk pelanggaran atau persoalan.

Ia tidak menutup mata bahwa di masyarakat mungkin masih ada pihak yang menganggap PKS sebagai partai politik yang eksklusif. Padahal, Daryono mengatakan, PKS merupakan partai Islam yang membuka diri atau inklusif.

Baca juga: Cerita Penghayat Kepercayaan di Solo: Dianggap Dukun hingga Ingin Bergabung FKUB

“Jadi kadang-kadang ada orang bilang, ‘partai Islam enggak bisa toleransi’. Katanya siapa? Islam itu bahkan paling toleran dalam konteks ketika betul-betul mengaplikasikan nilai-nilai Islam,” terangnya.

Apalagi, kata dia, PKS sekarang deklarasinya adalah sebagai partai Islam yang rahmatan lil'alamin, memeluk dan merangkul semua kalangan.

“Jadi kami itu ingin mengaplikasikan keyakinan yang kami miliki agar punya kemanfaatan bukan hanya terhadap sesama, bahkan semua hal di alam semesta,” beber Daryono saat ditemui di tempat kerjanya di Kelurahan Banyuanyar.

Ia juga menyesalkan PKS sering mendapat stigma sebagai partai yang tidak peduli terhadap kebudayaan oleh sejumlah pihak.

Daryono lalu menegaskan bahwa pandangan itu tidak tepat.

Ia mencontohkan dirinya sendiri yang punya hobi mengoleksi keris sebagai warisan budaya. Dia telah pula menginisiasi pembentukan paguyuban tosan aji yang sebagian besar anggotanya merupakan kader PKS.

“Jadi, sebagai partai Islam, kami ingin menunjukkan bisa hidup berdampingan, bisa menerima siapapun. Nyatanya di daerah lain, ada juga pengurus yang non-Muslim,” jelas politikus yang juga maju dalam Pileg itu.

Dengan ini, ia pun mempersilakan masyarakat penganut aliran kepercayaan untuk tidak sungkan apabila ingin menyampaikan aspirasi lewat PKS.

Terpisah, Wakil Sekretaris DPC PDI-P Solo Budi Prasetyo memastikan, partainya sangat terbuka bagi kelompok penghayat. Hal itu sesuai dengan semangat yang digelorakan Bung Karno.

Menurutnya, Negara Indonesia dibangun di atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip ini, kata Budi, diusulkan oleh Bung Karno dalam Pidato Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945.

Pidato Bung Karno itu menegaskan Indonesia memegang prinsip ketuhanan yang berkebudayaan, yang memberikan keleluasaan bagi warga negara untuk menjalankan perintah agama dan keparcayaan masing-masing, serta sikap saling menghormati.

“Atas dasar itu, kami memastikan akan terus memperjuangkan terpenuhinya kesetaraan kesempatan dalam hak-hak sipil bagi setiap warga negara,” ucap politikus yang juga maju dalam Pileg 2024 tersebut.

Baca juga: Akui Penghayat Kepercayaan, Kemendikbudristek Berikan Layanan Advokasi kepada Masyarakat Adat

Budi pun menekankan bahwa keberadaan penghayat kepercayaan sekarang sudah diakui secara konstitusional oleh negara.

“Salah satu permasalahan penghayat (di Solo) kan soal KTP. Masih banyak yang belum mengubah identitas. Ini juga yang akan kami kawal terus untuk ditemukan duduk persoalannya dan solusinya,” ujar politikus yang masih menjabat sebagai Ketua DPRD Solo tersebut.

Sebab, kata dia, identitas penghayat ini penting untuk mengakses layanan dasar sesuai kebutuhan, seperti pendidikan, pernikahan, dan seterusnya.

Pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan keseluruhan permohonan para pemohon uji materi terhadap Pasal 61 Ayat (1), (2), dan Pasal 64 Ayat (1) dan (2) UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang telah berubah menjadi UU No 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Keputusan MK secara eksplisit memandatkan jaminan kesetaraan antara agama dan kepercayaan sesuai Pasal 28E dan 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dengan begitu, sebagai warga negara yang setara, penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME seharusnya memiliki hak yang sama dengan pemeluk agama dalam mengakses layanan publik.

Masalah nyata

Senada dengan Rahmanto, Tri Suseno (43) mengatakan, penghayat kepercayaan masih membutuhkan akvokasi dalam pemenuhan hak-haknya. Ia mencontohkan situasi yang dialaminya sendiri.

Seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma asal Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Solo, Tri Suseno (42) bersama istri dan anaknya menjalankan ritual sembahyang Sujud di Sanggar Candi Busata (SCB) Cengklik, Minggu (11/9/2022). Seno berharap pemerintah bisa segera menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan di Kota Solo untuk mendampingi putranya yang selama ini terpaksa mengikuti pendidikan Agama.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma asal Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Solo, Tri Suseno (42) bersama istri dan anaknya menjalankan ritual sembahyang Sujud di Sanggar Candi Busata (SCB) Cengklik, Minggu (11/9/2022). Seno berharap pemerintah bisa segera menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan di Kota Solo untuk mendampingi putranya yang selama ini terpaksa mengikuti pendidikan Agama.

Seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma itu bercerita, putra sulungnya, Nendra (9), belum juga menerima layanan pendidikan sesuai kebutuhan.

Sedari awal Nendra masuk SD pada 2019, Seno padahal telah berbicara kepada pihak sekolah untuk bisa memenuhi hak pendidikan anaknya sebagai penghayat.

Namun, sekolah belum juga sanggup menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YMA hingga sekarang. Alhasil, Nendra terpaksa masih ikut Pendidikan Agama.

“Meskipun sangat minoritas, kami mohon bisa mendapatkan perhatian dan terlayani juga,” ucapnya.

Wakil 2 MLKI Solo Gress Raja juga beranggapan bahwa hak-hak para penghayat Kepercayaan masih perlu untuk lebih diakui dan dihormati, termasuk dalam kebijakan pemerintah.

Nyatanya, menurutnya, masih banyak penghayat di Kota Solo yang belum berani membuka diri kepada publik luas karena beragam alasan, termasuk kekhawatiran menerima diskriminasi.

"Sebagaian besar penghayat masih ber-KTP agama, padahal tidak menjalankan ajaran agama. Kalau mau ganti identitas KTP, teman-teman ada ganjalan, termasuk faktor lingkungan. Ini tak mudah,” jelas Gress.

Baca juga: Saat Anak-anak Penghayat di Solo Tak Terfasilitasi Pendidikan Kepercayaan...

MLKI mencatat baru ada sekitar 40 penghayat yang telah mengubah kolom agama di KTP menjadi penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Padahal, potensi jumlah penghayat di Kota Bengawan bisa mencapai 800 orang.

Secara kelembagaan, jumlah organisasi penghayat di Kota Solo juga menurun. Pada 2016 tercatat masih ada 20 organisasi, sedangkan pada tahun ini tinggal 12 kelompok atau paguyuban.

Penghayat kepercayaan non-paguyuban asal Kelurahan Pasar Kliwon Sidik Hendro Purnomo menyebut, beberapa penghayat di wilayahnya enggan membuka jati diri karena sempat menerima intimidasi dari kelompok intoleran.

Ia bercerita, pernah suatu ketika, sejumlah penghayat dihalang-halangi ketika ingin melakukan ritual kungkum di Sungai Bengawan Solo.

Dengan ini, kata Hendro, sangatlah dibutuhkan sosok pemimpin dan wakil rakyat yang paham betul aturan-aturan kebebasan beragama dan berkepercayaan supaya semakin terwujud situasi kondusif di masyarakat.

Sementara itu, Darmo Setiadi, menilai dalam sisi peraturan perundangan, pemerintah pusat sebenarnya relatif telah menunjukkan banyak kemajuan dan cukup akomodatif untuk penghayat.

Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang perubahan administrasi kependudukan dan Permendikbud No.27/2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan adalah contoh akomodatifnya pemerintah pusat, menurut dia.

Tetapi, dalam praktiknya, masih banyak informasi dari pusat yang tidak tersampaikan ke daerah.

“Hak kewarganegaraan kepada penghayat sudah terfasilitasi dengan baik oleh pemerintah pusat, namun masih banyak petugas di tingkat kota/kabupaten dan ke bawah (kecamatan, kelurahan/desa, RW, RT) belum memahami mengenai hal kesetaraan penghayat kepercayaan dalam memperoleh fasilitas-fasilitas yang telah diberikan dari pusat,” jelas penghayat Sapta Darma itu.

Dia pun becerita belum lama ini mendengar keluhan dari penghayat Sapta Darma lain yang mengalami kesulitan ketika hendak mengubah identitas KTP karena belum pahamnya petugas di salah satu Kantor Kecamatan di Solo.

“Lalu, ada juga teman yang berkabar, di aplikasi perbankan salah satu bank daerah, kolom penghayat belum diakui. Pilihannya masih agama,” jelasnya.

Ogah golput

Meski minoritas dan mengalami diskriminasi, para penghayat di Solo menunjukkan tetap punya sikap politik berdasar nilai positif dari kepercayaan yang dianut.

Baca juga: Kisah Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul, Tak Lagi Susah Urus Administrasi Kependudukan

Tri Suseno misalnya. Tiga pekan sebelum Pemilu, ia mengaku telah mengantongi nama caleg DPRD Kota Solo, celag DPRD Provinsi Jateng, caleg DPR RI, calon anggota DPD RI, serta calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang akan dipilihnya pada 14 Februari.

Dari lubuk hati, ia sebenarnya berharap akan ada calon wakil rakyat dan atau pemimpin yang secara terbuka menyatakan dukungan terhadap penghayat dalam Pemilu kali ini. Namun, Seno belum mendapatinya.

Sebagai ganti, warga Kelurahan Nusukan, Banjarsari, itu mengatakan, bakal memilih mereka-mereka setidaknya tidak memiliki peluang untuk melakukan diskriminasi dan diyakini dapat membawa kebaikan bagi masyarakat secara umum dalam berbagai bidang.

Seno menegaskan ogah menjadi golput karena ingin turut serta dalam menentukan masa depan bangsa.

Di samping itu, ia sedang berupaya menjalankan ajaran dari kepercayaannya.

Seno menerangkan, bahwa di dalam ajaran Sapta Darma yang ia anut, terdapat Wewarah Tujuh yang dengan tegas mendorong setiap penghayat ikut berperan aktif dalam kegiatan bernegara.

Pesan itu terutama tertuang dalam Wewarah poin kedua yang berbunyi “kanthi jujur lan sucining ati kudu setya anindakake anger-angger ing Negarane (dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan Negaranya)”.

Selain itu, pesan yang sama juga tertera pada Wewarah poin ketiga yang berbunyi “melu cawe-cawe acancut tali wanda njaga adeging Nusa lan Bangsa (Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya Nusa dan Bangsanya)”.

Dari situ, Seno, memaknai golput sebagai sikap yang tidak boleh dijalani karena bertentangan dengan ajaran Kepercayaan.

Ia pun berharap kepada siapa saja yang terpilih menjadi wakil rakyat dan pemimpin negara nanti, dapat memberikan perhatian kepada penghayat.

Gress Raja enggan pula menjadi golput karena tidak sesuai dengan ajaran Kepercayaan Pelajar Kawruh Jiwa yang ia anut.

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu Kota Solo, Agus Sulistyo (tengah), sedang melakukan sosialisasi kepada para penghayat lkepercayaan di Solo dalam upaya peningkatan peran serta masyatakat dalam pengawasan Pemilu 2024 pada Minggu (14/1/2024). Di depan, ia didampingi Ketua MLKI Solo Ramanto Setro Taruno (kedua dari kanan), Wakil MLKI Solo Gress Raja (kiri), dan Sekretaris MLKI Solo Darmo Setiadi (kiri).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu Kota Solo, Agus Sulistyo (tengah), sedang melakukan sosialisasi kepada para penghayat lkepercayaan di Solo dalam upaya peningkatan peran serta masyatakat dalam pengawasan Pemilu 2024 pada Minggu (14/1/2024). Di depan, ia didampingi Ketua MLKI Solo Ramanto Setro Taruno (kedua dari kanan), Wakil MLKI Solo Gress Raja (kiri), dan Sekretaris MLKI Solo Darmo Setiadi (kiri).

“Dari masa ke masa kami percaya leluhur kita pasti mempersiapkan dan momong orang-orang pilihannya untuk menjadi pemimpin. Maka tugas kita adalah mencari tahu siapa calon pemimpin yang dituntun dan dipersiapkan leluhur. Jadi menjadi golput itu hanya untuk orang-orang yang tidak merasa memiliki negara dan bangsa ini,” jelasnya.

Ia selama ini tak pernah terlewat datang ke TPS karena ingin ikut mendorong terpilihnya pemimpin dan wakil rakyat yang kiranya paling punya komitmen tinggi dalam mendukung kesetaraan di masyarakat.

Darmo paham isu terkait penghayat kepercayaan mungkin dianggap kurang populer bagi masyarakat, sehingga banyak partai tidak mengkampanyekannya.

Terkait hal ini, ia hanya bisa berharap kepada para politikus yang memang peduli terhadap isu keberagaman untuk mau membantu para penghayat menyosialisasikan kehadiran mereka kepada masyarakat luas.

“Dukungan semacam itu sangat berarti bagi kami untuk menekan terjadinya diskriminasi maupun hambatan dalam mengakses layanan publik,” jelasnya.

Di sisi lain, Darmo juga mengajak kepada para penghayat untuk berani juga membuka diri kepada masyarakat luas.

Ia menegaskan, hal ini baik untuk kepentingan para penghayat sendiri karena bisa meluruskan anggapan-anggapan yang mungkin keliru di masyarakat tentang keberadaaan penganut aliran Kepercayaan.

Baca juga: Keluarga Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul Lega Akhirnya Pernikahannya Diakui Negara

“Teman-teman penghayat juga perlu membuka diri untuk tidak eksklusif,” pesan dia.

Darmo juga mengajak kepada para penghayat lain untuk jangan sampai melewatkan kesempatan mencoblos.

“Bagi saya, pemimpin dan wakil rakyat yang ideal adalah yang amanah, punya semangat tolerasi, dan peduli terhadap kelompok minoritas,” tutur warga Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon itu.

Darmo ingin siapa pun calon pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih, nantinya berani mengakui Bhinneka Tunggal Ika dan setiap keputusannya didasarkan kepada rasa berbudi pekerti luhur.

Sementara itu, Darmo, yang sejak 2023 terpilih menjadi Sekretaris 1 MLKI Solo, begitu berterima kasih kepada berbagai pihak yang selama ini mendukung keberadaan MLKI atau para penghayat di Solo.

Ini termasuk pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Solo yang telah bersedia hadir dalam beberapa acara MLKI atau sebaliknya, mengundang penghayat terlibat di forum mereka.

Darmo pun menyampaikan aspirasi semoga suatu saat MLKI atau penghayat Kepercayaan dapat diajak bergabung ke dalam keanggotaan FKUB agar keberadaanya dapat kian diakui di masyarakat.

Gress Raja menyampaikan harapan serupa. Ia menyampaikan, MLKI belum diajak bergabung FKUB karena dianggap bukan agama.

Menurutnya, para penghayat akan merasa sangat beruntung jika bisa masuk FKUB. Sebab, para penghayat akhirnya mendapatkan pengakuan lebih besar atau kuat, sehingga diharapkan kondusifitas Solo juga bisa kian terjalin.

Berdasarkan pantauan Kompas.com, usulan penghayat atau MLKI Solo bisa bergabung dengan FKUB sempat pula dibahas dalam forum Diskusi dan Refleksi Akhir Tahun 2023 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) RI di Ndalem Padmosusastro, Solo, pada 26 Desember lalu.

Ketua FKUB Solo, Mashuri, turut hadir di dalam forum tersebut. Bersama Ramanto, ia menjadi narasumber, duduk di hadapan lebih kurang 40 penghayat dari berbagai aliran Kepercayaan di Kota Bengawan.

Ketua MLKI Solo Ramanto Setro Taruno (kedua dari kiri -belakang) sedang berbincang dengan Ketua FKUB Solo Mashuri (tengah -belakang) di tengah-tengah acar Diskusi dan Refleksi Akhir Tahun 2023 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) RI di Ndalem Padmosusastro, Solo, pada Selasa (26/12/2023). Dalam forum itu, Ramanto mengingatkan kepada 40-an penghayat untuk tidak menjadi golpul dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Ketua MLKI Solo Ramanto Setro Taruno (kedua dari kiri -belakang) sedang berbincang dengan Ketua FKUB Solo Mashuri (tengah -belakang) di tengah-tengah acar Diskusi dan Refleksi Akhir Tahun 2023 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) RI di Ndalem Padmosusastro, Solo, pada Selasa (26/12/2023). Dalam forum itu, Ramanto mengingatkan kepada 40-an penghayat untuk tidak menjadi golpul dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.

Menanggapi usulan para penghayat, Mashuri, menjelaskan bahwa pengurus FKUB Solo belum bisa menerima keanggotan mereka karena menyesuaikan dengan kebijakan organisasi.

Meski begitu, dia memastikan FKUB Solo akan tetap menjaga hubungan baik dan kerukunan dengan para penghayat.

"Kami di daerah hanya menjabarkan keputusan Asosiasi FKUB se-Indonesia. Tapi usulan itu akan coba kami sampaikan (ke Asosiasi). Kami punya keharusan merukuni penghayat, memberikan atau mengupayakan pemenuhan hak yang sama, dan merangkul satu sama lain," ucap dia.

Dalam kesempatan itu, Mashuri turut mengimbau para penghayat tidak ragu lagi menunjukkan kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat. Para penghayat dipersilakan mengakses layanan perubahan kolom agama di KTP menjadi penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YME.

Ia menegaskan dirinya siap ikut turun tangan apabila masih ada penghayat yang mengalami diskriminasi atau intimidasi di masyarakat. Dengan ini, ia meminta para penghayat untuk jangan segan melapor atau memberitahu dirinya jika masih mendapati hal-hal yang tidak diinginkan.

“Saya akan hadir di garda depan jika ada intimidasi terhadap teman-teman penghayat,” seru tokoh agama yang juga menjadi Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Solo itu.

Jangan jadi komoditas

Saat dimintai pendapat, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Samsul Maarif melihat, belum ada pasangan capres dan cawapres dalam Pemilu 2024 yang memberikan perhatian serius atau dukungan secara jelas terhadap kelompok minoritas penganut aliran kepercayaan atau masyarakat adat.

Begitu juga, ia menyaksikan, belum ada caleg yang menyuarakan isu terkait penghayat.

Menurut Anchu, sapaan akrab Samsul Maarif, dampak elektabilitas politik dan situasi sosial membuat kelompok marginal ini semakin tersingkir dan jarang dibicarakan.

Baca juga: Pemilu Jadi Momentum Pertumbuhan Industri Konstruksi Indonesia

"Selama ini kelompok rentan, marginal, yang diusung para calon di Pemilu dan Pilpres hanya anak, perempuan, dan disabilitas. Penghayat kepercayaan maupun masyarakat adat jarang diangkat. Jangankan diajak (berpolitik), dibicarakan saja jarang. Banyak hal yang membuat para calon di Pilpres atau Pileg tak melirik keberadaan penghayat," ungkap dia saat dihubungi.

Anchu bercerita, selama ini ada penganut kepercayaan yang mau maju ke dunia politik, seperti menjadi caleg atau kepala daerah, tetapi selalu tersingkir.

Selain jumlah penghayat yang dianggap relatif kecil, biaya pencalonan juga mahal. Di samping itu, ada potensi elektabilitas politikus dari penghayat tergerus karena muncul pertentangan di masyarakat jika partai politik maupun caleg mengangkat kelompok minoritas ini.

Ia menyaksikan, pemahaman budaya masih kerap bertolak belakang dengan umat beragama di kancah politik.

Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa memasuki masa pemilu seperti sekarang ini, kelompok minoritas menjadi semakin rentan dan harus menanggung beban diskriminasi lebih berat dari publik.

Karena biasanya, ketika kampanye, ada juga politikus yang menggunakan isu minoritas untuk mencari popularitas demi mendulang suara.

Ia pun mengajak kepada para politikus, jangan sampai menjadikan penghayat sebagai komoditas lima tahunan, yang kemudian ditinggalkan sesudahnya.

“Semua pihak harus menyadari bahwa pemilu damai adalah wujud demokrasi, yang berpijak pada keberagaman masyarakat. Hal yang dibutuhkan adalah kita harus saling melindungi satu sama lain,” harap Anchu.

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu Kota Solo Agus Sulistyo mengatakan, pihaknya telah menggelar edukasi politik yang menyasar para penghayat kepercayaan pada Januari ini.

Ia mengakui, itu adalah kali pertama Bawaslu Solo menggandeng masyarakat penghayat sebagai kelompok minoritas. Bawaslu mengadakan sosialisasi guna meningkatkan peran serta penghayat dalam program pengawasan Pemilu.

“Kami berusaha memberikan pemahaman kepada teman-teman penghayat untuk tidak ragu melapor apabila mendapati pelanggaran atau kejanggalan dalam Pemilu. Itu termasuk, bilamana mereka merasa menjadi korban dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pemilu,” jelas dia.

Di sisi lain, Agus memastikan, Bawaslu telah mengimbau kepada parpol peserta pemilu untuk tidak menyinggung isu suku, agama, ras, antargolongan (SARA) selama menyosialisasikan diri ataupun di masa kampanye. Hal ini penting untuk menjaga situasi perpolitikan tetap damai.

“Kami mengingatkan semua pihak untuk mengindari politik SARA dan identitas,” seru dia.

Sementara itu, Anchu mengapresiasi sikap para penghayat kepercayaan di Solo yang memutuskan untuk tidak golput dalam setiap pemilu meski menghadapi situasi terdiskriminasi. Ia yakin semangat mereka juga dimiliki oleh para penghayat di daerah lain.

“Saya memahami ajarannya, memahami keterlibatan para penghayat selama ini dalam berbangsa. Mereka cukup kental untuk terus membayangkan bangsa ini bergerak, di antaranya, dengan melek politik, terlibat dalam pemilu,” ucap dia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com