KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia mulai menyusun pemutakhiran kebijakan iklim dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
Dalam penyusunan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta agar pemutakhiran SNDC selaras dengan target Perjanjian Paris yang mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
IESR juga mendesak pemerintah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyiapan SNDC.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Dirasakan Indonesia, Kekeringan dan Hujan Ekstrem Meningkat
Sejauh ini, pemerintah dinilai masih menggunakan perhitungan penurunan emisi menggunakan skenario business as usual (BAU).
Masyarakat sipil memandang skenario ini tidak relevan untuk dijadikan basis penghitungan emisi.
Indonesia perlu beralih pada sistem perhitungan yang akurat dengan menggunakan acuan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan trajektori pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih realistis.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, meski target penurunan emisi dalam Enhanced NDC (ENDC) terlihat meningkat, tetapi sesungguhnya masih tidak sejalan dengan target membatasi suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
Baca juga: Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia Dinilai Sama Sekali Tidak Memadai
Saat ini, kata Fabby, target ENDC hanya membidik penurunan emisi sebesar 31-43 persen saja di bawah BAU.
Dia menambahkan, jika menggunakan penghitungan BAU yang, seharusnya target penurunan emisi Indonesia minimal 60 persen dari BAU untuk penghitungan dengan upaya sendiri dan 62 persen dari BAU untuk penghitungan dengan bantuan internasional.
"Jumlah ini belum termasuk penurunan emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan," kata Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (2/2/2024)
Berdasarkan analisis IESR, dengan menggunakan emisi tahun 2022 sebagai basis penetapan target, Indonesia perlu membidik penurunan emisi pada 2030 dengan upaya sendiri sebesar 26 persen atau 859 juta ton karbon dioksida ekuivalen dan 28 persen dengan bantuan internasional atau 829 juta ton karbon dioksida ekuivalen.
Baca juga: Kinerja Aksi Iklim Indonesia Dinilai Jeblok oleh Pemantau Global
Penetapan target emisi tersebut akan berkontribusi pada pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius.
Seiring dengan peningkatan target penurunan emisi, Indonesia pula perlu menurunkan bauran energi fosil seperti batu bara dan gas dalam sistem energi Indonesia.
Bauran batu bara dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia, berdasarkan penghitungan Climate Action Tracker (CAT), harus dikurangi menjadi 7-16 persen pada 2030 dan menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebelum 2040.
Adapun, gas perlu berkurang menjadi 8 hingga 10 persen pada 2030 dan berhenti pengoperasiannya pada 2050.
Baca juga: Mencari Gagasan Memperkuat Ketahanan Pangan di Tengah Krisis Iklim
Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, pengurangan bauran energi fosil harus diganti dengan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 55 hingga 82 persen pada 2030 nanti.
Sayangnya, di ENDC, target yang tercantum bukan target bauran energi terbarukan, melainkan target kapasitas energi terbarukan yang terpasang.
IESR menilai besaran kapasitas terpasang energi terbarukan saja tidak secara jelas menunjukan hubungan dengan penurunan emisi.
IESR dan kelompok masyarakat sipil lainnya memberikan enam rekomendasi terhadap penyusunan SNDC.
Baca juga: Debat Hanya Tontonkan Gimmick, Cawapres Tak Paham Krisis Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya