KOMPAS.com - Tingginya permintaan akan pilihan akhir hidup yang lebih ramah lingkungan, mendorong para penyedia layanan pemakaman menawarkan metode kremasi air atau water cremation.
Kremasi air dianggap lebih ramah lingkungan, dibanding kremasi api tradisional. Tak mengherankan jika opsi ini kini lebih populer.
Sebelum mengulas lebih jauh, mari kita bahas apa yang dimaksud dengan kremasi atau resomasi air.
Kremasi air, juga dikenal sebagai aquamasi, resomasi, dan hidrolisis basa, menggunakan air untuk mengembalikan tubuh ke sisa kerangka.
Baca juga: Semen Gresik Konversi BBM ke CNG, Diklaim Lebih Ramah Lingkungan
Jenazah ditempatkan dalam bejana baja berisi air dan larutan basa. Kemudian dipanaskan sehingga daging kembali ke komponen kimianya; asam amino, peptida, gula dan garam.
Setelah sekitar tiga sampai empat jam, hanya tulangnya yang tersisa. Mereka kemudian digiling menjadi bubuk putih, dimasukkan ke dalam guci dan diberikan kepada keluarga.
Musim panas lalu, penyedia layanan pemakaman terbesar di Inggris, Co-op Funeralcare mulai menawarkan layanan tersebut. Ini menjadikan mereka sebagai perusahaan pertama yang melakukannya.
Kremasi air pun sudah legal di Inggris dengan tunduk pada peraturan kesehatan, keselamatan, dan lingkungan.
Ini adalah metode yang dipilih oleh pahlawan anti-apartheid Afrika Selatan Desmond TuTu setelah kematiannya pada tahun 2021.
Dia menginginkan pemakaman yang ramah lingkungan dan menurut perusahaan resomasi yang berbasis di Inggris, proses ini mengonsumsi energi lima kali lebih sedikit dibandingkan kremasi api.
Baca juga: 5 Cara Mudah Membentuk Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Kendati demikian, ada hal yang perlu dikritisi, bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dari industri pemakaman ini.
Direktur Resomasi Kindly Earth Julian Atkinson mengatakan, selama beberapa dekade hanya ada dua pilihan utama dalam hal pengaturan akhir hidup penguburan dan kremasi.
“[Kami] akan memberi pilihan lain bagaimana mereka meninggalkan dunia karena proses alami ini menggunakan air, bukan api, sehingga lebih lembut bagi tubuh dan ramah lingkungan," ujar Julian, seperti dilansir dari euronews, Minggu (18/2/2024).
Penelitian yang dilakukan oleh YouGov dan Co-op Funeralcare menemukan bahwa 89 persen orang dewasa di Inggris belum pernah mendengar istilah resomasi.
Namun setelah dijelaskan, hanya kurang dari sepertiga (29 persen) mengatakan mereka akan memilih pemakaman mereka sendiri jika tersedia.
Meningkatnya kepedulian terhadap ekologi dan keberlanjutan selama dekade terakhir, ditambah dengan keinginan untuk menjadi bagian dari alam atau beristirahat di alam, berarti semakin banyak orang yang mempertimbangkan dampak lingkungan dari tubuh mereka setelah mereka meninggal.
Baca juga: TPST Ramah Lingkungan di Cilacap Gunakan Teknologi RDF, Apa Itu?
Profesor Douglas Davies dari Departemen Teologi dan Agama di Universitas Durham mengatakan, sekitar 245 kilogram emisi karbon dihasilkan oleh satu kali kremasi tradisional, setara dengan mengisi daya ponsel cerdas Anda lebih dari 29.000 kali.
Penguburan secara tradisional juga mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Bahan kimia yang digunakan dalam proses pembalseman dapat bocor dan mencemari tanah dan saluran air di sekitarnya.
Inggris sendiri bukan satu-satunya negara Eropa yang membuat gebrakan dalam kancah resomasi.
Irlandia akan membuka fasilitas kremasi air pertamanya tahun ini. Layanan ini juga tersedia di AS, Kanada, dan Afrika Selatan.
Belgia dan Belanda termasuk di antara negara-negara Eropa lainnya yang ingin menerapkan resomasi, namun ada kendala peraturan yang harus diatasi terlebih dahulu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya