KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan Rapid Communication atau informasi cepat tentang obat pencegah Tuberkulosis (TBC) dalam upaya menekan laju kasus secara global.
Informasi itu disampaikan mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga Aditama sebagaimana dilansir Antara, Minggu (18/2/2024).
Tjandra mengungkapkan, publikasi informasi cepat tentang obat pencegah TBC tersebut dirilis oleh WHO pada Jumat (16/2/2024).
Baca juga: Komitmen Indonesia Lawan TBC, Buat Komunitas Bantu Penyintas
"Ini suatu aspek yang menarik, karena biasanya kita hanya bicara tentang mengobati yang sudah jatuh sakit, tetapi kembali ditegaskan bahwa ada obat untuk mencegah TBC," kata Tjandra .
Tjandra yang juga Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan, dalam publikasi itu WHO mencantumkan lima hal terkait obat pencegah TBC.
Pertama, sekitar seperempat penduduk dunia sudah pernah terinfeksi TBC, namun mereka belum tentu akan jatuh sakit, baik karena fenomena bakteri TBC yang bersifat dorman atau karena daya tahan tubuh yang lebih kuat.
"Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sekitar 5-10 persen dari masyarakat yang terinfeksi TBC dapat jatuh sakit, dan utamanya penyakit akan muncul pada dua sampai lima tahun sesudah infeksi awal," ujar Tjandra.
Baca juga: Di Brasil, Indonesia Serukan Penyediaan Vaksin TBC Terbaru
Kedua, kata Tjandra, WHO secara jelas menyebutkan bukti ilmiah menunjukkan bahwa obat pencegah TBC pada mereka yang risiko tinggi akan secara progresif menurunkan risiko untuk penyakit TBC.
"Pada September 2023 di pertemuan dunia UN High Level Meeting on Tuberculosis disepakati komitmen untuk meningkatkan pengobatan pencegatan TBC sampai ke 45 juta orang. Indonesia harus jadi bagian dari pencapaian angka dunia ini, sementara cakupan kita saat ini masih rendah," tuturnya.
Ketiga, WHO merekomendasikan penggunaan obat levofloxacin selama enam bulan, khusus untuk pengobatan pencegahan TBC untuk mereka yang kontak dengan pasien TBC dengan resistensi berganda atau resistensi rifampisin (MDR/RR-TB).
"Ini sejalan dengan hasil penelitian terbaru dari Afrika Selatan dan Vietnam. Tentu akan bagus kalau di masa datang hasil penelitian Indonesia juga akan dapat jadi acuan dunia juga," ucap Tjandra.
Keempat, ada perubahan dosis pada regimen pengobatan pencegahan TBC pada obat levofloxacin dan rifapentine, dan juga penggunaan bersama dengan obat dolutegravir.
Baca juga: Jumlah Kasus TBC 2023 Naik, Ini Kata Kemenkes
"Ini sesuatu hal baru yang diharapkan memberi pencegahan lebih baik," paparnya.
Kelima, ada integrasi rekomendasi WHO screening guidelines 2021 dengan WHO guidelines on new tests of TB infection.
"Juga ada pembaruan algoritme bagaimana pengobatan pencegahan TBC ini dilakukan pada mereka yang kontak dengan pasien TBC, kelompok ODHA (orang dengah HIV/AIDS) serta kelompok risiko tinggi lainnya," tutur Tjandra.
TBC adalah masalah kesehatan penting di dunia, termasuk Indonesia yang kini menjadi negara penyumbang kasus kedua terbanyak di dunia.
Pemerintah Indonesia juga menargetkan dapat mengeliminasi TBC pada 2030 dengan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 67 tahun 2021.
Baca juga: Jutaan Pasien TBC di Dunia Belum Dapat Pengobatan Memadai
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya