KOMPAS.com - Setelah tarik ulur selama beberapa bulan, pemerintah resmi merilis revisi peraturan menteri (permen) yang mengatur pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Regulasi tersebut tertuang dalam Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
Dalam revisi permen itu, salah satu yang menjadi sorotan adalah penghapusan ekspor-impor atau net-metering listrik dari PLTS atap on-grid.
Baca juga: Ketahui Tiga Jenis PLTS Terapung
Dalam Pasal 13, disebutkan bahwa kelebihan energi listrik dari sistem PLTS atap yang masuk ke jaringan pemegang IUPTLU tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah tagihan listrik pelanggan PLTS atap.
Dengan demikian, kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN (Persero) tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.
Permen tersebut ditandatangani Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 29 Januari 2024 dan diundangkan pada 31 Januari 2024.
Lembaga think tank energi Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, dengan dihapuskannya skema ekspor-impor, permen tersebut akan menghambat partisipasi masyarakat untuk mengadopsi PLTS atap.
Baca juga: Revisi Permen PLTS Atap Diprotes Pengusaha, Pengamat: Mereka Mementingkan Bisnisnya
Jika demikian, maka progres transisi energi juga ikut tersendat. Padahal, penetrasi PLTS atap penting dalam berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi.
Selain itu, ada beberapa manfaat jika PLTS atap berkembang pesat, di antaranya adalah meningkatnya investasi energi terbarukan, tumbuhnya industri PLTS, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan emisi GRK.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap setelah dihapuskannya skema ekspor-impor listrik.
Pasalnya, permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari.
Tanpa skema ekspor-impor, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi.
Baca juga: Ada Singapura di Balik PLTS IKN Senilai Lebih dari Rp 1 Triliun
Fabby menyampaikan, skema impor-ekspor atau net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap.
"Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kilowatt peak (kWp) untuk konsumen kategori R1," kata Fabby dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (23/2/2024).
IESR mendesak adanya evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Pemerintah juga dituntut terbuka untuk merevisinya pada 2025 seiring dengan menurunnya ancaman over kapasitas listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali.
Baca juga: Penghapusan Ekspor Listrik PLTS Atap Bisa Turunkan Minat Masyarakat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya