Manabe dan Hasselmann melanjutkan legacy yang telah didedikasikan oleh pendahulu mereka. Pada 1960, dia menjadi orang pertama yang mempelajari bagaimana keseimbangan energi yang diserap dan dipancarkan bumi, berinteraksi dengan massa udara yang bergerak secara vertikal di lapisan atmosfer.
Satu dasawarsa berikutnya, Hasselmann menciptakan model yang menghubungkan iklim dan cuaca, serta mengidentifikasi sinyal dan jejak yang dihasilkan oleh fenomena alam dan aktivitas manusia dalam data iklim.
Teknik inilah yang digunakan untuk membuktikan bahwa peningkatan temperatur atmosfer merupakan akibat dari emisi karbon yang dihasilkan oleh manusia.
Di antara penjelasan para fisikawan tersebut, satu hal yang mendasar bahwa sirkulasi radiasi panas di udara tetap patuh pada Hukum Termodinamika Kedua.
Bumi dapat dipandang sebagai heat engine raksasa yang menggerakkan sirkulasi udara di atmosfer, sebagaimana pendekatan Mesin Carnot pada model termodinamika sederhana.
Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana menekan laju entropi yang terus meningkat akibat global warming agar tetap sustain demi keberlangsungan hidup umat manusia. Di situlah letak krusial serta kondisi darurat yang perlu diperhatikan penduduk planet ini.
Masalahnya, pembuktian ilmiah akan kebenaran perubahan iklim belum cukup diterima oleh sebagian orang.
Kesadaran kolektif terhadap urgensi dari permasalahan iklim perlu didekati dari pendekatan lain, yaitu dari sisi moral spiritual atau nilai-nilai agama.
Menurut Emile Durkheim (1995), sebagai sistem sosial, agama dipandang sebagai sistem nilai yang berperan dalam memberikan kontrol sosial. Agama menjadi basis nilai moralitas yang membuat masyarakat bisa berfungsi dan menghindari chaos.
Pada gilirannya, agama memenuhi kebutuhan riil masyarakat dan kemudian mampu mengonversi nilai ketuhanan menjadi kemaslahatan universal.
Dalam konteks Indonesia dengan mayoritas Muslim, umat Islam seharusnya menyadari bahwa mereka menjadi bagian dari entitas penduduk bumi yang sangat terdampak krisis lingkungan.
Naiknya air rob di kota-kota pesisir di Indonesia dan banjir yang menghajar negara-negara seperti Bangladesh adalah contoh dari betapa dirugikannya umat Islam akibat alam yang semakin tidak kondusif.
Termasuk kekeringan di negara-negara sub Sahara, serta konflik akibat perebutan sumber daya alam dan krisis air di negara-negara timur tengah.
Beberapa penyelidikan mengungkap bahwa dalam konflik Palestina-Israel ada yang terkait dengan global warming. Terdapat alasan lingkungan yang membuat Israel bersikukuh memperebutkan daratan tinggi Golan karena terkait suplai air baku di kawasan itu.
Di Afrika, perang saudara di Darfur yang meletus dua dekade silam juga dipicu perubahan iklim sehingga oleh pengamat disebut sebagai "the first climate change conflict".
Contoh lain krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar yang menimpa etnis muslim Rohingya. Hasil investigasi menguak adanya permasalahan keadilan lingkungan (environmental justice) yang pada akhirnya memaksa etnis Rohingya terusir dari tempat tinggalnya.
Sesuai dengan karakter agama yang universal dan moderat, Islam memiliki perspektif sendiri dalam melihat lingkungan.
Perhatian seorang Muslim terhadap lingkungan berangkat dari pesan teologis dari Al Qur’an surat Ar Rum ayat 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia”.
Begitu pula tuntunan Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana umat Islam seharusnya menjadi pihak yang terdepan dalam urusan lingkungan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya