Pertanyaan yang muncul dari data ini adalah, kenapa harus selalu beras? Fakta tersebut menjadi ironis mengingat Indonesia memiliki lahan untuk perladangan dan pertanian yang luas, yang kurang termanfaatkan karena kurang cocok ditanami beras.
Indonesia memiliki 11,84 juta hektare lahan kering yang sulit ditanami padi (data BPS tahun 2015).
Lokasi lahan kering di Indonesia yang sebagian besar berada di luar pulau Jawa seluas 9,16 juta hektare (77,35 persen) juga membuka potensi pulau-pulau lain menjadi lumbung penghasil bahan makanan pokok alternatif selain beras.
Beberapa lokasi food estate saat ini sudah mulai memberdayakan makanan alternatif, salah satunya sorgum.
Program food estate penanaman sorgum di Indonesia pada 2023 diproyeksikan sebesar 115.000 hektare di seluruh Indonesia, dengan lahan terluas sebesar 25.000 hektare lahan berada di pulau Sumba.
Uji coba penanaman sorgum pada lahan kering perbukitan telah berhasil dilakukan di Aceh pada 2023 oleh BMKG Indrapuri bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Data tersebut menunjukkan bahwa lahan kering di Indonesia dapat memberikan hasil yang cukup baik, jika ditanami tanaman pangan yang tepat.
Namun masalah selanjutnya yang harus dipecahkan adalah, bagaimana agar bahan makanan pokok alternatif yang nantinya berhasil diproduksi dapat diterima pasar di Indonesia?
Salah satu alasan kenapa serapan pasar dan permintaan terhadap bahan makanan pokok alternatif masih rendah adalah masih kurangnya wawasan masyarakat terhadap makanan pokok alternatif dan hasil olahannya.
Program makan siang gratis di sekolah dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengampanyekan konsumsi bahan makanan pokok alternatif pada generasi muda Indonesia. Selain itu, program ini juga berpotensi mendukung penyerapan hasil program food estate.
Alasan lain kenapa bahan makanan alternatif sulit untuk populer bagi masyarakat kita, terutama pada usia dewasa adalah kurangnya familiarity dengan bahan pangan ini.
Menurut Nurti Y. dalam Kajian Makanan dalam Perspektif Anthropologi (2017, 1-10), kebiasan dan pola makan serta pengaruh budaya yang sudah tertanam sangat memengaruhi pemilihan makanan di masyarakat.
Kepercayaan dan budaya makan nasi yang sudah tertanam kuat di masyarakat sulit diubah karena sudah merupakan kebiasaan hidup sehari-hari.
Harapan untuk mengubah dan menanamkan selera masyarakat terhadap makanan pokok alternatif harus ditanamkan sejak dini agar bisa efektif.
Dengan mengenalkan makanan pokok alternatif sejak dini melalui program makan siang gratis, siswa sejak remaja dapat dibiasakan dengan cita rasanya.
Selain itu, makan bersama di sekolah juga dapat membuat ikatan emosi dengan makanan, yang dapat membuat familiarity siswa dengan makanan pokok alternatif meningkat.
Hal ini juga untuk mendorong permintaan pasar terhadap produk tersebut di masa depan dapat berkembang.
Program makan siang gratis dan food estate berpotensi disinergikan untuk mendukung diversifikasi pangan yang diupayakan Kementerian Pertanian.
Tentu memerlukan upaya besar untuk menyinergikan ketiga program tersebut, tapi potensi baik dan manfaat yang dihasilkan dari sinerginya rasanya sayang jika tidak direalisasikan pemerintah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya