JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) meluncurkan Indeks Desa pada Senin (4/3/2024).
Indeks Desa ini dijadikan sebagai indikator tunggal dalam mengukur perkembangan desa-desa di Indonesia.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti mengatakan, indeks ini penting karena digunakan sebagai acuan bersama dalam mengintegrasikan data mengenai perdesaan.
”Dengan Indeks Desa sebagai panduan tunggal, kita dapat lebih efektif mendorong kemandirian desa dan merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk kemajuan berkelanjutan,” ujar Dewi dalam acara peluncuran di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin (4/3/2024).
Baca juga: Kembangkan Desa Selaras Kota, Ini 5 Kunci dari Bappenas
Indeks Desa dapat digunakan untuk mengukur kemampuan pembangunan desa, yang terbagi menjadi enam dimensi yaitu layanan dasar, sosial, ekonomi, lingkungan, aksesibilitas, dan tata kelola pemerintahan desa.
“Jadi itu yang kita ukur supaya kita tahu, posisi desa tersebut seperti apa. Apakah sudah maju, apakah masih tertinggal? Apa yang bisa diperbaiki?” tuturnya, di sela-sela acara.
Adapun data yang dihimpun oleh Indeks Desa akan digunakan untuk pengalokasian dana desa per tahun, hingga penetapan target pembangunan desa dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan rencana pembangunan daerah.
“Karena kita ada program Dana Desa, jadi ini termasuk bagaimana mengalokasikan dana desa. Lembaga yang ada di desa juga bisa menggunakan (indeks) ini sebagai ukuran,” imbuh Dewi.
Sebagai informasi, pembuatan Indeks Desa telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas Penyaluran Dana Desa pada Desember 2019 lalu. Namun, indeks ini baru bisa diluncurkan pada awal 2024 karena memakan waktu yang cukup panjang.
Baca juga: Punya Potensi Besar, Desa Wisata di Gorontalo Ikuti Pelatihan Pemasaran
Indeks Desa yang baru diluncurkan, merupakan penyatuan dua indeks yang selama ini digunakan untuk mengukur perkembangan desa.
Indeks pertama adalah berbasis data Potensi Desa Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikelola Bappenas.
Sedangkan indeks kedua adalah Indeks Desa Membangun (IDM) yang menggunakan data dari tingkat desa yang dikelola oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Perbedaan keduanya antara lain mencakup sumber data, metode perhitungan, dimensi, variabel, serta mekanisme verifikasi data.
“Pada 2019 itu ada dua indeks, Indeks Desa dan Indeks Desa Membangun. Nah ini beda, angka jumlah Desa Mandiri (di kedua indeks) berbeda. Desa Tertinggal juga beda, lokasinya, jumlahnya,” papar Dewi.
Baca juga: Kuatkan Ekonomi Desa, BUMDes Perlu Berorientasi Ekspor
Akhirnya, Kementerian PPN/Bappenas melakukan sejumlah koordinasi dengan berbagai lembaga terkait untuk menyempurnakan Indeks Desa.
Sehingga kemudian saat ini lahir Indeks Desa yang telah disempurnakan, sebagai indeks tunggal pengukuran capaian pembangunan desa.
“Dengan revitalisasi ini, kami harapkan tidak ada lagi dualisme dalam pengukuran perkembangan desa,” ujar Dewi.
Meski sudah diluncurkan, hasil perhitungan Indeks Desa baru akan digunakan secara resmi pada 2025, karena masih membutuhkan sejumlah penyesuaian termasuk verifikasi data.
Adapun yang digunakan adalah indeks berbasis data dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) dalam rentang April/Mei hingga Juni 2024.
Baca juga: Sukses Kelola Sampah, Desa di Banyumas Raup Rp 140 Juta per Bulan
Sementara itu, Sekretaris Utama Bappenas Teni Widuriyanti mengungkapkan, Indeks Desa menjadi indikator kinerja pembangunan desa yang universal.
“Indeks Desa dapat menjadi acuan utama penyusunan kebijakan pembangunan desa di berbagai dokumen perencanaan di tingkat pusat, daerah, hingga desa,” ujarnya.
Indeks ini, sejalan dengan implementasi pemerataan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPN 2025-2045.
”Yang mengamanatkan penyelesaian ketimpangan untuk mencapai salah satu visi Indonesia Emas 2045, yakni kemiskinan menuju nol persen dan ketimpangan berkurang,” papar Teni.
Sebagai informasi, pada 2023 BPS mencatat kemiskinan perdesaan mencapai 12,22 persen, di atas kemiskinan perkotaan yaitu sebesar 7,29 persen.
Untuk itu, mewujudkan pembangunan yang merata tidak hanya menargetkan pengurangan ketimpangan antara barat dan timur Indonesia, tetapi juga ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan.
”Pembangunan desa dalam Indonesia Emas 2045 dititikberatkan pada pengarusutamaan pembangunan desa yang bersifat lintas sektor dan lintas aktor, menuju kemandirian desa. Desa harus mau dan mampu tumbuh dan maju bersama dan selaras dengan kota,” pungkas Teni.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya