KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan memandang berbagai aturan baru di sektor energi menjadi pukulan mundur transisi energi di Indonesia.
Gerakan Energi Bersih terdiri atas berbagai organisasi dan lembaga yaitu Greenpeace Indonesia, Enter Nusantara, Purpose, Institute for Essential Services Reform (IESR), 350 Indonesia, dan Yayasan Indonesia Cerah.
Sejumlah aturan yang menjadi sorotan koalisi yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 2 Tahun 2024 tentang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, Peraturan Presiden (Perpres) No 14 Tahun 2024 soal penangkapan dan penyimpanan karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Baca juga: Kebutuhan Meningkat, Indonesia Harus Pastikan Keamanan Ketahanan Energi
Dalam Permen ESDM No 2 Tahun 2024, koalisi menyoroti dua perubahan yang akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, khususnya sektor rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pertama, ekspor kelebihan produksi listrik PLTS atap ke jaringan listrik PT PLN tidak lagi diperhitungkan sebagai pengurangan tagihan. Kedua, pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan oleh PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun.
Digital Campaigner 350 Indonesia Jeri Asmoro mengatakan, Permen ESDM No 2 Tahun 2024 merupakan sebuah kemunduran.
Dia menilai, selain menghambat konsumen rumah tangga, aturan baru tersebut juga mempersulit industri yang ingin memasang PLTS atap.
"Artinya, aturan baru PLTS atap ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang semakin jauh dari komitmen untuk melakukan transisi energi," kata Jeri dalam siaran pers, Jumat (8/3/2024).
Baca juga: Kemenko Marves Sebut 4 Hal Penting Transisi Energi, Ada Elektrifikasi
Koordinator Enter Nusantara Reka Maharwati mengatakan, masyarakat di perkotaan dan perdesaan sebenarnya antusias untuk memasang PLTS atap.
"Seharusnya pemerintah bisa menggandeng antusias ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru yang lebih bisa menguntungkan masyarakat," tutur Reka.
Sementara itu, dalam draf RPP KEN, ada penurunan target bauran energi terbarukan dari 23 persen menjadi antara 17 hingga 19 persen pada 2025.
Bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar antara 19 hingga 21 persen, dan hanya akan meningkat menjadi 38 sampai 41 persen pada 2040.
Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo memaparkan, draf RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035.
Baca juga: Belanja Modal Perusahaan Minyak Kembangkan Energi Hijau 30 Persen
Capaian ini 7 sampai 10 tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan temperatur rata-rata global di bawah 1,5 derajat celsius sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Sehingga, RPP KEN dinilai mengancam tercapainya Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat yang sudah ditarget pemerintah.
Gerakan Energi Terbarukan juga mengkritik Perpres No 14 Tahun 2024 sebagai solusi palsu terhadap upaya perubahan iklim.
Regulasi tersebut dinilai membuka kesempatan bagi perusahaan untuk menyuntikkan dan menyimpan emisi karbon ke reservoir bawah tanah.
Padahal, menurut laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), ada banyak proyek penangkap dan penyimpnanan karbon yang bermasalah.
Baca juga: Meski Gas Bumi Jadi Energi Alternatif, Produksinya Diproyeksi Menurun
Dari 13 proyek penangkap dan penyimpnanan karbon, sebanyak tujuh proyek berkinerja buruk, dua proyek gagal, dan satu proyek dihentikan operasinya.
Penerapan teknologi penangkap dan penyimpnanan karbon dikhawatirkan menjadi upaya greenwashing yang melanggengkan pembangkit listrik berbasis energi fosil.
Gerakan Energi Terbarukan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mendorong pengembangan energi terbarukan setelah adanya ketiga aturan tersebut.
Di sisi lain, dalam lima tahun terakhir, capaian bauran energi terbarukan nasional selalu di bawah target.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Agung Budiono menuturkan, regulasi akan menjadi landasan hukum jangka panjang untuk memastikan langkah-langkah transisi energi dilakukan secara sah.
"Kalau landasan hukumnya dibuat justru berkebalikan dengan target yang diucapkan pemerintah, lalu komitmen transisi energinya di mana?" tutur Agung.
Baca juga: Dorong Transisi Energi, Australia Gelontorkan Rp 102 Miliar untuk Asia Tenggara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya