Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 8 Maret 2024, 19:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan memandang berbagai aturan baru di sektor energi menjadi pukulan mundur transisi energi di Indonesia.

Gerakan Energi Bersih terdiri atas berbagai organisasi dan lembaga yaitu Greenpeace Indonesia, Enter Nusantara, Purpose, Institute for Essential Services Reform (IESR), 350 Indonesia, dan Yayasan Indonesia Cerah.

Sejumlah aturan yang menjadi sorotan koalisi yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 2 Tahun 2024 tentang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, Peraturan Presiden (Perpres) No 14 Tahun 2024 soal penangkapan dan penyimpanan karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Baca juga: Kebutuhan Meningkat, Indonesia Harus Pastikan Keamanan Ketahanan Energi

Dalam Permen ESDM No 2 Tahun 2024, koalisi menyoroti dua perubahan yang akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, khususnya sektor rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pertama, ekspor kelebihan produksi listrik PLTS atap ke jaringan listrik PT PLN tidak lagi diperhitungkan sebagai pengurangan tagihan. Kedua, pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan oleh PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun.

Digital Campaigner 350 Indonesia Jeri Asmoro mengatakan, Permen ESDM No 2 Tahun 2024 merupakan sebuah kemunduran.

Dia menilai, selain menghambat konsumen rumah tangga, aturan baru tersebut juga mempersulit industri yang ingin memasang PLTS atap.

"Artinya, aturan baru PLTS atap ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang semakin jauh dari komitmen untuk melakukan transisi energi," kata Jeri dalam siaran pers, Jumat (8/3/2024).

Baca juga: Kemenko Marves Sebut 4 Hal Penting Transisi Energi, Ada Elektrifikasi

Koordinator Enter Nusantara Reka Maharwati mengatakan, masyarakat di perkotaan dan perdesaan sebenarnya antusias untuk memasang PLTS atap.

"Seharusnya pemerintah bisa menggandeng antusias ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru yang lebih bisa menguntungkan masyarakat," tutur Reka.

Sementara itu, dalam draf RPP KEN, ada penurunan target bauran energi terbarukan dari 23 persen menjadi antara 17 hingga 19 persen pada 2025.

Bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar antara 19 hingga 21 persen, dan hanya akan meningkat menjadi 38 sampai 41 persen pada 2040.

Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo memaparkan, draf RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035.

Baca juga: Belanja Modal Perusahaan Minyak Kembangkan Energi Hijau 30 Persen

Capaian ini 7 sampai 10 tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan temperatur rata-rata global di bawah 1,5 derajat celsius sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Sehingga, RPP KEN dinilai mengancam tercapainya Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat yang sudah ditarget pemerintah.

Gerakan Energi Terbarukan juga mengkritik Perpres No 14 Tahun 2024 sebagai solusi palsu terhadap upaya perubahan iklim.

Regulasi tersebut dinilai membuka kesempatan bagi perusahaan untuk menyuntikkan dan menyimpan emisi karbon ke reservoir bawah tanah.

Padahal, menurut laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), ada banyak proyek penangkap dan penyimpnanan karbon yang bermasalah.

Baca juga: Meski Gas Bumi Jadi Energi Alternatif, Produksinya Diproyeksi Menurun

Dari 13 proyek penangkap dan penyimpnanan karbon, sebanyak tujuh proyek berkinerja buruk, dua proyek gagal, dan satu proyek dihentikan operasinya.

Penerapan teknologi penangkap dan penyimpnanan karbon dikhawatirkan menjadi upaya greenwashing yang melanggengkan pembangkit listrik berbasis energi fosil.

Gerakan Energi Terbarukan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mendorong pengembangan energi terbarukan setelah adanya ketiga aturan tersebut.

Di sisi lain, dalam lima tahun terakhir, capaian bauran energi terbarukan nasional selalu di bawah target.

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Agung Budiono menuturkan, regulasi akan menjadi landasan hukum jangka panjang untuk memastikan langkah-langkah transisi energi dilakukan secara sah.

"Kalau landasan hukumnya dibuat justru berkebalikan dengan target yang diucapkan pemerintah, lalu komitmen transisi energinya di mana?" tutur Agung.

Baca juga: Dorong Transisi Energi, Australia Gelontorkan Rp 102 Miliar untuk Asia Tenggara

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau