KOMPAS.com - Selain anomali cuaca dan iklim, banjir bandang dan tanah longsor di sebagian daerah di Pulau Jawa juga disebabkan oleh penurunan permukaan tanah.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, sebagaimana dilansir Antara, Kamis (14/3/2024).
Dwikorita menuturkan, sejumah wilayah pantai utara Jawa (pantura) seperti Kota Semarang, Pekalongan, dan Demak menjadi contoh daerah yang paling kentara mengalami penurunan permukaan tanah itu.
Baca juga: Kepala BNPB Sebut RI Hadapi Anomali Bencana, Ada Karhutla dan Banjir
"Fenomena penurunan muka tanah ini diketahui merujuk dari hasil penyelidikan geologi yang diikuti oleh tim BMKG," kata Dwikorita.
Menurut penelitian, permukaan tanah di wilayah pesisir Kota Semarang, Pekalongan, dan Demak menurun sekitar 10 sentimeter (cm) per tahun. Fenomena tersebut sudah berlangsung sejak 10 tahun terakhir.
Dwikorita menyampaikan, penurunan yang terus menerus membuat permukaan tanah di wilayah pantura Jawa Tengah itu terpaut lebih rendah dari muka air laut.
Kondisi itu diperparah setelah analisis meteorologi menunjukkan beberapa waktu ke depan atmosfer Indonesia masih dilanda aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) serta fenomena Gelombang Kelvin, Rossby Equatorial, dan tiga bibit siklon tropis sekaligus.
"Itulah mengapa bila diguyur hujan air cepat menyebar, dan surutnya membutuhkan waktu lama dan juga tak sedikit berujung longsor," ujar Dwikorita.
Dia menilai, hasil analisa saintifik tersebut harusnya menjadi acuan untuk semua pihak baik pemerintah, legislatif, maupun masyarakat untuk memikirkan solusi bagaimana kerentanan bencana banjir bisa diminimalisasi dan dampaknya tidak meluas.
Baca juga: SIG Bersama Semen Gresik Bantu Sembako dan Kebutuhan Korban Banjir
Diberitakan Kompas.com, BMKG juga mendeteksi tiga bibit siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia pada Maret 2024 yakni 91S, 94S, dan 93P.
Dwikorita mengatakan, tiga bibit siklon tropis tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan, kecepatan angin, dan ketinggian gelombang laut di sekitar wilayah siklon tropis.
Tiga bibit siklon tropis yang terdeteksi BMKG berada di sekitar Samudera Hindia selatan Jawa, Laut Timor, dan Laut Australia.
Ketiga bibit siklon tropis tersebut menunjukkan pengaruh terhadap wilayah Indonesia bagian selatan.
Berdasarkan analisis BMKG, bibit siklon tropis 91S mempunyai kecepatan angin maksimum 56-65 kilometer per jam.
Baca juga: Membaca Data Spasial Banjir Grobogan
Tekanan udara di pusat sistem tersebut mencapai 994 hPa dengan pergerakan ke arah tenggara dan peluang menjadi siklon tropis dalam 24 ke depan masuk kategori sedang-tinggi.
Sementara bibit siklon tropis 94S yang muncul bersamaan dengan 91S memiliki kecepatan angin maksimum 28-37 kilometer per jam, dengan tekanan udara di pusat sistem sebesar 999,9 hPa.
Bibit siklon tropis 94S bergerak ke arah timur-tenggara dan peluang menjadi siklon tropis dalam 24 ke depan masuk kategori rendah.
Bibit siklon lainnya yang dideteksi BMKG adalah 93P yang mempunyai kecepatan angin maksimum 37-46 kilometer per jam, tekanan udara di pusat sistem mencapai 1003 hPa, dan bergerak ke arah tenggara.
Peluang bibit siklon tropis 93P menjadi siklon tropis masuk kategori rendah dalam 24 jam ke depan.
Baca juga: Sempat Tenggelam, Kini Rotterdam Jadi Pengekspor Solusi Banjir
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya