KOMPAS.com - Perubahan iklim mengancam ketahanan pangan Indonesia karena produksi padi yang menurun.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim membuat 2.256 hektare sawah terancam kekeringan.
Untuk diketahui, luas lapangan bola pada umumnya adalah 10.800 meter persegi dengan dimensi panjang 120 meter dan lebar 90 meter.
Baca juga: Perubahan Iklim Biang Keladi Merebaknya Wabah Kolera
Bila dibandingkan, luasan sawah yang terancam kekeringan tersebut setara dengan 2.088 lapangan sepak bola.
Selain mengancam kekeringan pada sawah, perubahan iklim juga berpotensi menurunkan produksi padi Indonesia antara 1,13 juta ton sampai 1,89 juta ton.
Ancaman ketahanan pangan sersebut tak lepas dari ketahanan air yang terganggu akibat perubahan iklim.
Pasalnya, apabila ketahanan air melemah, maka akan berdampak serius pada banyak hal diantaranya ketahanan pangan dan ketahanan energi.
Baca juga: Langkah Peternak Belgia Seret Perusahaan Migas ke Meja Hijau karena Perubahan Iklim
Apabila terus berlanjut, kondisi tersebut akan memicu terjadinya konflik yang berimplikasi terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
"Jumlah penduduk terus meningkat sehingga di waktu bersamaan kebutuhan air juga ikut meningkat. Apabila ini (air) tidak dikelola dengan baik maka dampak buruknya akan sangat serius," tutur Dwikorita dikutip dari siaran pers BMKG, Sabtu (23/3/2024).
Apabila situasi ini tidak mendapatkan perhatian serius, tambah dia, maka ramalan Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai krisis pangan global dan bencana kelaparan di tahun 2050 dapat menjadi kenyataan.
Dwikorita menyampaikan, suhu Bumi saat ini telah mendekati batas yang disepakati dalam pada Perjanjian Paris 2015.
Saat itu, seluruh dunia bersepakat untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di angka 1,5 derajat celsius pada 2030.
Baca juga: Dunia di Ambang Pemutihan Terumbu Karang Massal Keempat karena Perubahan Iklim
Namun, saat ini kenaikan suhu melaju lebih cepat dan sudah mencapai kenaikan 1,45 derajat celsius di atas suhu rata-rata di masa pra-industri.
Dwikorita menuturkan, untuk mengatasi laju perubahan iklim, setidaknya ada dua aksi yang dapat dilakukan yaitu mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi berarti setiap pihak harus mengurangi penyebab daripada pemasanan global dan perubahan iklim.
Sedangkan adaptasi ialah proses penyesuaian terhadap dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim.
Baca juga: Paus Abu-abu Muncul di Perairan Bukan Habitatnya, Tanda Perubahan Iklim Makin Parah
"Jadi aksi iklim harus berorientasi mengintegrasikan antara tindakan mitigasi dan tindakan adaptasi," ujarnya.
Untuk melakukan aksi mitigasi, terdapat terdapat lima sektor fokus aksi penurunan emisi gas rumah kaca dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Kelima sektor tersebut adalah kehutanan, pertanian, energi, industri, dan limbah.
Sementara, aksi adaptasi ada delapan aspek yang menjadi fokus yakni ketahanan pangan, ketahanan ekosistem, ketahanan air, kemandirian energi, kesehatan, pemukiman perkotaan dan pedesaan, pesisir dan pulau kecil, serta peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan dan masyarakat.
Baca juga: Beruang Kutub Terancam Kelaparan akibat Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya