Pekerjaan rumahnya sekarang adalah bagaimana memaksimalkan lahan yang sudah ada, tanpa membuka lahan baru.
Kepastian tidak membuka lahan ini penting untuk meyakinkan pasar dunia bahwa pembangunan kelapa sawit di Indonesia tidak merusak kawasan bernilai konservasi tinggi, hutan primer dan gambut.
Pemerintah pun telah menerbitkan pelbagai instrumen kebijakan untuk mendukung perkembangan kelapa sawit berkelanjutan.
Pada 2019, melalui Instruksi Presiden nomor 6 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB), pemerintah menekankan pentingnya kerja sama dan kolaborasi.
Pada komponen C RAN KSB ini mengkhususkan tentang pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang pada poin pertamanya tentang peningkatan konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan.
Kemudian pada komponen D, membahas tentang percepatan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan peningkatan akses produk kelapa sawit.
Pemerintah mewajibkan perusahaan maupun pekebun untuk mendapatkan sertifikasi ISPO yang sudah dilegalisasi dalam Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2020.
Sertifikasi ISPO dan penyelamatan kawasan konservasi ini saling berkaitan. Salah satu kriteria ISPO mewajibkan perusahaan untuk mengidentifikasi, mengelola, dan memantau area bernilai konservasi tinggi, hutan primer dan kawasan gambut.
Pada konteks perkebunan, Area Bernilai Konservasi Tinggi yang selanjutnya disingkat ANKT adalah lahan atau hamparan area yang memiliki nilai penting dan signifikan secara biologis, ekologis, sosial dan/atau kultural baik pada tingkat tapak, daerah, nasional, maupun global.
Ada dua hal yang bisa diamankan dari sertifikasi, yaitu ANKT dan legalitas wilayah perkebunan yang boleh dikelola. Semua ini adalah bagian dari payung tata kelola sawit berkelanjutan.
Status wilayah ini merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), bahwa terdapat 3,3 juta hektare kebun sawit di dalam kawasan hutan, dan tidak berizin. Kebun-kebun ini dikuasai perusahaan maupun pekebun kecil.
Di sisi lain, terdapat kawasan hutan yang masih dalam kondisi baik di areal penggunaan lain yang telah memperoleh izin legal perkebunan sawit.
Pada saat ini pemerintah berusaha menyelesaikan status perkebunan di dalam kawasan hutan ini melalui mekanisme dalam UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dengan mekanisme penyelesaian keterlanjuran (Lihat Pasal 110A dan 110B), yang mana aturan ini kemudian dioperasionalisasikan melalui PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
Aturan tersebut mengatur sanksi administratif bagi ketelanjuran pekebun yang membuka lahan di kawasan hutan hingga batas waktu 2 November 2023.
KLHK akan memutihkan para pekebun yang mendaftarkan lahannya sebelum tanggal tersebut. Mekanismenya untuk pekebun rakyat bisa dengan skema perhutanan sosial, tanah obyek reforma agraria, dan mekanisme agraria lainnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya