Oleh: Yohanes Ryan*
KELAPA sawit adalah komoditas perkebunan unggulan yang merupakan salah satu andalan penyumbang ekspor Indonesia.
Sebagai negara eksportir kelapa sawit terbesar di dunia (Kementan, 2020) yang mencapai 53,46 persen dari total nilai ekspor global, nilai ekonominya mencapai 17,36 miliar dollar AS sehingga berdampak besar pada ekonomi.
Belakangan, desakan untuk memerhatikan aspek keberlanjutan dianggap menekan masa depan industri kelapa sawit Indonesia.
Laporan Newforesight (2022) menunjukkan bahwa negara-negara di Eropa menjadi garda terdepan yang berbicara isu kelapa sawit berkelanjutan dalam dua dawasarsa terakhir.
Beleid terkini nomor 1115 yang dikeluarkan pada 31 Mei 2023, menyatakan bahwa produk yang masuk pasar Uni Eropa harus berstatus bebas deforestasi.
Dewan Uni Eropa ingin memastikan bahwa konsumsi produk mereka tidak terkait dengan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim, khususnya yang disebabkan dari perubahan penutupan lahan dan pembukaan hutan.
Kondisi di Indonesia, saat ini diketahui pembangunan perkebunan kelapa sawit masih didominasi melalui ekstensifikasi dengan membuka lahan baru. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya luasan perkebunan yang tidak linier dengan produktivitas lahan.
Artikel bertajuk Fostering a climate-smart intensification for oil palm menemukan bahwa produktivitas perkebunan besar dan perkebunan rakyat di Indonesia masih berada di bawah target optimal panen, yaitu 70 persen tanaman yang matang bisa dipanen.
Pada artikel yang diterbitkan Maret 2021 di jurnal Nature Sustainability tersebut, perkebunan rakyat, hasil panennya hanya separuh (53 persen) dari target optimal.
Temuan tersebut diperkuat dengan data statistik perkebunan pada tahun 2021, yang menunjukkan terdapat 458.000 hektare perkebunan rakyat yang berstatus tidak menghasilkan.
Nilai tersebut, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya di mana total tanaman yang tidak menghasilkan ada di angka 297.000 hektare pada 2020. Artinya perkebunan kelapa sawit yang dikelola petani individu, produktivitasnya masih jauh panggang dari api.
Model budi daya dan produktivitas untuk perkebunan rakyat ini penting dibahas, karena rata-rata mereka mengandalkan perkebunan dengan ekstensifikasi.
Bisa dilihat fakta bahwa tiap tahunnya terjadinya peningkatan luas perkebunan kelapa sawit, yaitu 16,8 juta hektare (2022) dari 14,9 juta hektare (2021). Kenaikan ini terjadi di tingkat petani maupun di tingkat pekebun besar.
Pemerintah menargetkan produksi minyak mentah kelapa sawit hingga 60 juta ton per tahun pada 2030. Tahun lalu (2022), BPS mencatat angka produksi Indonesia sudah mencapai 45,58 juta ton per tahun. Tak jauh dari target produksi.
Pekerjaan rumahnya sekarang adalah bagaimana memaksimalkan lahan yang sudah ada, tanpa membuka lahan baru.
Kepastian tidak membuka lahan ini penting untuk meyakinkan pasar dunia bahwa pembangunan kelapa sawit di Indonesia tidak merusak kawasan bernilai konservasi tinggi, hutan primer dan gambut.
Pemerintah pun telah menerbitkan pelbagai instrumen kebijakan untuk mendukung perkembangan kelapa sawit berkelanjutan.
Pada 2019, melalui Instruksi Presiden nomor 6 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB), pemerintah menekankan pentingnya kerja sama dan kolaborasi.
Pada komponen C RAN KSB ini mengkhususkan tentang pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang pada poin pertamanya tentang peningkatan konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan.
Kemudian pada komponen D, membahas tentang percepatan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan peningkatan akses produk kelapa sawit.
Pemerintah mewajibkan perusahaan maupun pekebun untuk mendapatkan sertifikasi ISPO yang sudah dilegalisasi dalam Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2020.
Sertifikasi ISPO dan penyelamatan kawasan konservasi ini saling berkaitan. Salah satu kriteria ISPO mewajibkan perusahaan untuk mengidentifikasi, mengelola, dan memantau area bernilai konservasi tinggi, hutan primer dan kawasan gambut.
Pada konteks perkebunan, Area Bernilai Konservasi Tinggi yang selanjutnya disingkat ANKT adalah lahan atau hamparan area yang memiliki nilai penting dan signifikan secara biologis, ekologis, sosial dan/atau kultural baik pada tingkat tapak, daerah, nasional, maupun global.
Ada dua hal yang bisa diamankan dari sertifikasi, yaitu ANKT dan legalitas wilayah perkebunan yang boleh dikelola. Semua ini adalah bagian dari payung tata kelola sawit berkelanjutan.
Status wilayah ini merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), bahwa terdapat 3,3 juta hektare kebun sawit di dalam kawasan hutan, dan tidak berizin. Kebun-kebun ini dikuasai perusahaan maupun pekebun kecil.
Di sisi lain, terdapat kawasan hutan yang masih dalam kondisi baik di areal penggunaan lain yang telah memperoleh izin legal perkebunan sawit.
Pada saat ini pemerintah berusaha menyelesaikan status perkebunan di dalam kawasan hutan ini melalui mekanisme dalam UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dengan mekanisme penyelesaian keterlanjuran (Lihat Pasal 110A dan 110B), yang mana aturan ini kemudian dioperasionalisasikan melalui PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
Aturan tersebut mengatur sanksi administratif bagi ketelanjuran pekebun yang membuka lahan di kawasan hutan hingga batas waktu 2 November 2023.
KLHK akan memutihkan para pekebun yang mendaftarkan lahannya sebelum tanggal tersebut. Mekanismenya untuk pekebun rakyat bisa dengan skema perhutanan sosial, tanah obyek reforma agraria, dan mekanisme agraria lainnya.
Namun per 3 November, diestimasi baru 1,6 juta hektare yang terinventarisasi dalam basis data KLHK. Berarti masih separuh lahan yang belum tercatat kementerian dan perlu dipikirkan statusnya kemudian.
Kalimantan Timur sudah mewajibkan setiap perusahaan kelapa sawit yang akan beroperasi harus melakukan identifikasi ANKT.
Ketentuan tersebut termaktub dalam Peraturan Gubernur Nomor 43 tahun 2021 tentang Pengelolaan Area dengan Nilai Konservasi Tinggi di Area Perkebunan (Pasal 12, 14 dan 31).
Beleid tersebut memperkuat aturan penyusunan ANKT yang sudah ada pada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 tahun 2018 tentang Perkebunan Berkelanjutan (Pasal 57 ayat 2).
Upaya penyelamatan lain yang bisa dilakukan adalah dengan menetapkan peta indikatif ANKT.
Dampak pelbagai aturan tersebut, kini provinsi ini sudah mengamankan kawasan konservasi penting.
Pemerintah provinsi melalui Surat Keputusan Gubernur No.525 tahun 2022 sudah menetapkan peta indikatif ANKT di tujuh kabupaten se-Kalimantan Timur seluas 456.000 hektare.
Luasan tersebut kemudian diverifikasi di tiap kabupaten hingga menghasilkan angka sementara di 270.000 hektare (2023).
Proses verifikasi terus berlanjut pada tujuh kabupaten yang ada, sembari menentukan pengelolaan ANKT yang lestari. Penetapan peta indikatif ini merupakan satu dari ratusan langkah menuju perkebunan berkelanjutan.
Menyelamatkan yang tersisa seakan jalan tak berujung. Setiap tahun atau setiap ganti pemerintahan, akan muncul tantangan kebijakan. Setidaknya ada iktikad penyelamatan, sebisa mungkin, sedini mungkin.
*Yohanes Ryan, Manajer Senior Perkebunan Sawit Berkelanjutan Yayasan Konservasi Alam Nusantara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya