KONFLIK lahan dan kendala perizinan lokasi untuk investasi merupakan permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Konflik lahan dapat terjadi karena belum tersedianya peta-peta tematik secara lengkap yang diperlukan untuk pengambilan keputusan.
Kendala perizinan lokasi untuk investasi menjadi permasalahan dikarenakan penggunaan rujukan peta kawasan yang berbeda, informasi spasial dengan standar berlainan, dan referensi yang tidak sama.
Hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan adanya tumpang tindih kawasan, tumpang-tindih perizinan lahan dan konflik tata ruang.
Kebijakan satu peta (one map policy) yang dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Presiden No 9 tahun 2016 yang kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Presiden No 23 tahun 2021 merupakan suatu langkah mengurangi potensi konflik lahan dan tumpang tindih peruntukan kawasan.
Kebijakan Satu Peta merupakan upaya perwujudan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal sehingga dapat menjadi acuan akurat dan akuntabel dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan berbasis spasial/keruangan.
Kebijakan satu peta dilaksanakan melalui tahapan kompilasi, integrasi, sinkronisasi dan berbagi-pakai.
Kompilasi adalah upaya untuk mengumpulkan berbagai peta tematik, peta dengan tema-tema sektoral yang berada di berbagai kementerian dan lembaga pada tingkat kedetailan skala 1:50.000.
Kegiatan kompilasi saat ini telah mencapai 100 persen sesuai target pada 151 peta tematik di berbagai kementerian dan lembaga.
Tahap integrasi adalah upaya untuk mewujudkan peta-peta tematik tersebut mempunyai referensi, standar dan basis data yang sama, sehingga dapat terintegrasi dan dimanfaatkan lintas sektor serta sesuai dengan peta dasar kita, yaitu Peta Rupabumi Indonesia. Tahapan integrasi di tahun 2024 ini telah mencapai 90 persen.
Tahapan sinkronisasi adalah upaya untuk melakukan analisis terhadap adanya tumpang tindih antarinformasi tematik dari berbagai peta tersebut.
Saat ini tersisa 9 persen atau setara 29,5 juta hektare lahan di Indonesia yang masih terdapat tumpang tindih.
Tumpang tindih dapat terjadi akibat ketidak-sesuaian peta pada rencana tata ruang, baik tata ruang skala provinsi, tata ruang di tingkat kabupaten/kota, tata ruang detail di tingkat kecamatan maupun tata ruang wilayah pesisir dan laut.
Tumpang tindih juga terjadi dengan adanya ketidak-sesuaian antara batas wilayah dengan peruntukan kawasan dan ketidak-sesuaian antara tata batas kawasan hutan dengan penerbitan perizinan.
Target pengurangan tumpang tindih lahan ini akan terus diupayakan hingga luasan tumpang tindih kurang dari 8 persen di akhir tahun ini.
Kebijakan satu peta juga bermanfaat pada tata kelola industri kelapa sawit. Dengan pemanfaatan kebijakan tersebut dapat diidentifikasi adanya kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan, seluas 3.3 juta hektare. Hal ini tentu akan memengaruhi potensi pada penerimaan negara.
Kebijakan ini juga mendorong adanya integrasi peta perizinan dalam usaha sawit dan penilaian maupun monitoring usaha perkebunan sawit, membantu identifikasi adanya tambang dalam kawasan hutan dan hak guna usaha dalam kawasan hutan.
Semua data dan peta tematik dalam kebijakan satu peta dapat diakses oleh pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat umum. Kemudahan akses tersebut difasilitasi melalui single geoportal, yaitu geoportal kebijakan satu peta.
Sampai saat ini tercatat lebih dari 29.000 akses pengguna terhadap geoportal kebijakan satu peta dan lebih dari 76.000 pengunduhan data.
Dengan kemudahan akses tersebut diharapkan akan membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan dan merencanakan pembangunan, membantu dunia usaha dalam proses investasi dan pengembangan usaha, serta membantu masyarakat dalam mendapatkan informasi berbasis spasial atau keruangan secara komprehensif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya