Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Tingginya Kanker di Indonesia: Gaya Hidup Tak Sehat hingga Kurang Dana

Kompas.com, 24 April 2024, 13:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Danur Lambang Pristiandaru

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Kanker Indonesia (YKI) mengungkapkan, kasus kanker saat ini semakin meningkat, termasuk di kalangan generasi muda.

Meningkatkan kasus kanker di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya karena penerapan pola hidup tidak sehat. 

Gaya hidup anak-anak muda yang serba instan dikatakan menjadi penyebab rentan terkena kanker. Contohnya transportasi, lingkungan, cara makan, dan gaya hidup yang serba mudah. 

Baca juga: Deteksi Dini Jadi Kunci Keberhasilan Atasi Kanker Mulut

“Sebenarnya, 90 persen kanker itu faktor risikonya ada di gaya hidup dan kebiasaan. Kita juga masuk ke era di mana penyebab kanker makin banyak,” kata Ketua Umum YKI Profesor Aru Wisaksono Sudoyo, di sela-sela perayaan Hari Ulang Tahun Ke-47 Yayasan Kanker Indonesia di Jakarta, Selasa (23/4/2024). 

Ia memberi contoh, zaman dulu orangtua memenuhi kebutuhan gizi anak dengan sayur mayur atau buah-buahan serta makanan yang relatif sehat karena tidak mengandung pengawet.

Sedangkan saat ini, anak-anak muda lebih jarang mengonsumsi sayur, buah, dan makanan sehat lainnya, justru cenderung membeli makanan cepat saji. 

“Karena gaya hidup kita sekarang lebih ke barat-baratan dan kita lebih cepat kena kanker," imbuh Aru. 

Baca juga: Studi: Infeksi TBC Berkaitan Peningkatan Risiko Berbagai Kanker

Pola hidup tidak sehat lainnya, ia menambahkan, termasuk kurang gerak yang dapat memicu kanker. Menurutnya, saat ini orang-orang lebih malas berjalan kaki dan lebih memilih naik ojek daring. 

Selain itu, kebiasaan rokok yang kian masif terutama di kalangan anak muda menjadi faktor tantangan penyebab kanker yang tinggi di Indonesia. 

“Kita tahu bahwa faktor makanan saja sudah mengambil faktor risiko kira-kira 35 persen, rokok 30 persen. Kurang olah raga ambil tempat juga. Jadi memang dunia kita ini jadi lebih mudah untuk kena kanker dibanding eyang-eyang kita dulu,” tuturnya. 

Kurang kesadaran dan dana minim

Berdasarkan data Global Burden of Cancer Study (Globocan) 2020, ada 396.914 kasus kanker di Indonesia dengan jumlah kematian sebanyak 234.511 jiwa. 

Baca juga: Lantunan Perjuangan Melawan 396.914 Kasus Kanker

Selain gaya hidup tidak sehat, Aru menjelaskan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini dan waspada terhadap kanker masih sangat rendah. Tak hanya itu, kurangnya dana juga menjadi suatu tantangan tersendiri.

Terkait dana, Aru menjelaskan bahwa pembiayaan sangat dibutuhkan untuk menggelar program-program edukasi terkait kanker. Melalui program tersebut, harapannya masyarakat menjadi lebih sadar dan waspada terhadap kanker, sehingga bisa melakukan deteksi dini.

Tantangan lainnya, kata Aru, tidak semua layanan kesehatan kanker bisa ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Pasien kanker yang sudah stadium akhir dan membutuhkan penanganan dengan alat-alat serta obat-obatan yang canggih tentu membutuhkan biaya lebih besar. Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting dilakukan sehingga apabila ada kanker, bisa segera ditangani. 

Baca juga: Kesadaran Minim Jadi Salah Satu Penyebab Tingginya Kematian akibat Kanker

Pentingnya deteksi dini

Aru menyebut meski pengobatan pada kanker sudah lebih baik dengan kemajuan teknologi, masyarakat diminta tetap deteksi dini. Sebab, pengobatannya masih sederhana dan lebih murah, serta kemungkinan untuk sembuh juga jauh lebih besar.

Menurut data BPJS Kesehatan pada 2023, kanker merupakan penyakit berbiaya katastropik terbesar kedua setelah jantung.

Biaya untuk kanker mencapai Rp 5,9 triliun dengan 3,8 juta kasus. Sedangkan beban biaya untuk penyakit jantung mencapai Rp 17,6 triliun bagi sekitar 20 juta kasus.

Aru berpesan kepada pemerintah dan masyarakat, terutama anak muda, untuk lebih sadar dan aktif menggencarkan deteksi dini kanker. 

Baca juga: Perokok Pasif 4 Kali Berisiko Kena Kanker Paru dibanding Tidak Terpapar Asap

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Studi Sebut Bahasa Iklim PBB Kikis Kepercayaan Publik terhadap Sains
Studi Sebut Bahasa Iklim PBB Kikis Kepercayaan Publik terhadap Sains
Pemerintah
Lahan Pertanian Bisa Jadi Kunci Melawan Perubahan Iklim
Lahan Pertanian Bisa Jadi Kunci Melawan Perubahan Iklim
Pemerintah
494 Karton Udang PT Bahari Makmur Sejati Dimusnahkan Usai Terkontaminasi Cs-137
494 Karton Udang PT Bahari Makmur Sejati Dimusnahkan Usai Terkontaminasi Cs-137
Pemerintah
Pertamina Salurkan Bantuan untukUrban Farming dan Pengelolaan Sampah Senilai Rp 6,5 Miliar
Pertamina Salurkan Bantuan untukUrban Farming dan Pengelolaan Sampah Senilai Rp 6,5 Miliar
BUMN
Pengunjung Taman Mini Kini Bisa Tabung Kemasan Botol Sekali Pakai
Pengunjung Taman Mini Kini Bisa Tabung Kemasan Botol Sekali Pakai
Swasta
Studi Sebut Teknologi Digital Efektif Ajarkan Keberlanjutan Laut pada Generasi Muda
Studi Sebut Teknologi Digital Efektif Ajarkan Keberlanjutan Laut pada Generasi Muda
Pemerintah
Ancaman Baru, Perubahan Iklim Perluas Habitat Nyamuk Malaria
Ancaman Baru, Perubahan Iklim Perluas Habitat Nyamuk Malaria
Pemerintah
Ironis, Tembok Alami di Pesisir Selatan Jawa Kian Terkikis Tambang Pasir
Ironis, Tembok Alami di Pesisir Selatan Jawa Kian Terkikis Tambang Pasir
Pemerintah
Maybank Group Alokasikan Rp 322 Triliun untuk Pendanaan Berkelanjutan
Maybank Group Alokasikan Rp 322 Triliun untuk Pendanaan Berkelanjutan
Swasta
Sampah Campur dan Kondisi Geografis Bikin Biaya Daur Ulang di RI Membengkak
Sampah Campur dan Kondisi Geografis Bikin Biaya Daur Ulang di RI Membengkak
Swasta
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Pemerintah
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
LSM/Figur
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Pemerintah
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Swasta
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau