INDONESIA peringkat keempat dunia setelah China, India dan Nigeria (2020) dalam food loss and waste (FLW) dengan 23-48 juta ton sampah makanan/tahun.
Kajian Bappenas (2021) memperkirakan kerugian ekonominya mencapai Rp 213 triliun - Rp 551 triliun per tahun. Angka itu setara dengan 4-5 persen PDB kita.
Kajian itu menyebut kehilangan, karena rusak pada rantai pasok, tertinggi di komoditas sayuran mencapai 62,8 persen.
Selain nilai ekonomi, food loss juga berkontribusi pada kenaikan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 7,29 persen.
Belum lagi hilangnya potensi energi dari total sumber pangan di atas yang dapat memberi makan kepada 61 juta-125 juta orang per tahun. Singkatnya, sampah makanan adalah pemborosan sumber daya yang sangat merugikan.
Fenomena itu menggambarkan mekanisme pasar tak selamanya efisien. Rantai pasokan dan sistem logistik eksisting belum dapat menanganinya.
Penambahan gudang penyimpanan, dengan berbagai teknologi pendukung, sama dengan menambah biaya logistik.
Nampaknya kita perlu menengok kembali formula lama sebelum “pasar modern” bekerja. Yakni bagaimana urusan pangan merupakan tanggungjawab komunitas masing-masing.
Kita perlu membayangkan corak produksi-distribusi yang terdesentralisasi, bukan terpusat.
Berbeda dengan Indonesia, sebagian masyarakat di Amerika dan Inggris sudah terbiasa dengan mode desentralisasi semacam itu. Modelnya disebut sebagai Community-Supported Agriculture (CSA).
Departemen Pertanian Amerika mencatat ada 7.000 CSA dengan volume penjualan sampai Rp 3,6 triliun per tahun (Morgan, et al., 2015).
LocalHarvest.org, jaringan CSA terbesar di sana, yang beroperasi di banyak negara bagian, mencatat sedikitnya ada 29.000 CSA aktif melayani komunitas setempat.
Di Inggris, salah satu praktik baik dari 220 CSA, yang berbentuk koperasi multi pihak, dapat memasok bahan pangan ke 55.000 orang anggota (Eichner, 2022).
Laporan kepada Parlemen tersebut mempromosikan CSA sebagai solusi terhadap kerentanan rantai pasok akibat pandemi dan perang Ukraina. Tak hanya itu, CSA terbukti efektif sebagai bentuk pertanian berkelanjutan.
Lantas apa dan bagaimana CSA dan koperasi bekerja?
CSA pertama kali berkembang di Amerika pada 1985 dengan prinsip sederhana, “share the costs to share the harvest” (Perry, 2010).
Bagaimana mengolaborasikan antara petani (individual atau kelompok) dengan pembeli (konsumen) dalam rantai produksi pertanian. Konsumen butuh bahan pangan, produsen butuh input produksi.
Keduanya dipertemukan melalui skema di mana konsumen membayar di muka (up-front payment) kebutuhan input produksi petani. Skema itu meringankan produsen dan juga memberi kepastian pasar bagi mereka.
Bagi konsumen mereka memperoleh bahan pangan yang segar dan berkualitas. Konsumen juga dapat mengusulkan jenis sayur mayur, buah atau bahan pangan lainnya kepada petani.
Dari segi harga, petani dan konsumen sama-sama memperoleh harga yang bagus sebab tidak melibatkan rantai pasok yang panjang. Berbeda ketika konsumen membeli di pasar atau supermarket yang sudah ditambah dengan nilai keuntungan bagi penjual.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya