KOMPAS.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperbarui panduan pasar keuangan berkelanjutan dari Taksonomi Hijau Indonesia (THI) menjadi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) pada Februari 2024.
Beberapa tujuan dari pembaruan tersebut yakni menarik lebih banyak pembiayaan berkelanjutan ke berbagai sektor, termasuk sektor energi, serta mencapai target netral karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal.
Di sisi lain, lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, meskipun pembaruan tersebut merupakan langkah maju, masih ada celah yang bisa membuatnya kurang efektif.
Baca juga: Aktivis Desak OJK Keluarkan PLTU Batu Bara dari Revisi Taksonomi Hijau
Salah satunya adalah sistem pelabelan yang memberikan peluang bagi aktivitas energi fosil untuk mendapat pembiayaan berkelanjutan.
Dalam TKBI, klasifikasi aktivitas ekonomi tidak lagi dilabeli dengan warna seperti "merah", "kuning", dan "hijau".
Pelabelan dalam TKBI diganti menjadi "tidak memenuhi klasifikasi", "transisi", dan "hijau".
Label "transisi" diterapkan untuk aktivitas yang belum sejalan dengan Persetujuan Paris tapi mengurangi emisi secara signifikan dalam jangka waktu tertentu.
Sedangkan label "hijau" diberikan kepada aktivitas yang sejalan dengan Persetujuan Paris dan mempertimbangkan NZE 2060 atau lebih cepat.
Baca juga: Taksonomi Terbaru ASEAN Diluncurkan, Dukung Penutupan PLTU
IESR menyoroti aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah beroperasi dan pembangunan PLTU baru yang ditetapkan sebelum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 atau PLTU baru yang terintegrasi dengan industri yang dilabeli "transisi".
Di sisi lain, terdapat inkonsistensi antara pelabelan PLTU dengan pembangkit yang lain.
Dalam aspek mitigasi emisi, pembangkit seperti gas, air, panas bumi, dan sebagainya akan dilabeli "transisi" jika emisi daur hidupnya 100-500 gram setara karbon dioksida per kilowatt jam (kWh).
Label pembangkit tersebut akan dikategorikan "hijau" jika emisi daur hidupnya di bawah 100 gram setara karbon dioksida per kWh.
Namun, untuk semua jenis PLTU, pembandingnya bukan emisi daur hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun, dan diwajibkan berhenti beroperasi paling lambat pada 2050.
Baca juga: Tantangan Asia Hadapi Krisis Iklim: Greenwashing hingga Inkonsistensi Kebijakan
Koordinator Keuangan Berkelanjutan IESR Farah Vianda menyampaikan, celah yang ada dalam TKBI dapat memunculkan praktik greenwashing demi mendulang pembiayaan berkelanjutan.
Farah menilai, diperlukan pengkinian secara berkala dan pengetatan kriteria.
"Selain itu, perlu adanya pihak ketiga untuk memastikan kategori pelabelan suatu kegiatan telah sesuai TKBI, bukan hanya penilaian yang dilakukan secara internal," ungkap Farah, dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (17/5/2024).
Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo menilai, indikator penurunan emisi di PLTU rendah mengingat pembangkit tersebut memiliki emisi operasional antara 900 hingga 1200 gram setara karbon dioksida per kWh.
Emisi dari PLTU bahkan lebih besar lagi jika menghitung emisi daur hidup.
Baca juga: Perdagangan Karbon Bukan Solusi Dekarbonisasi, Awasi Ketat Cegah Greenwashing
Deon menyampaikan, menyematkan label "transisi" maupun "hijau" terhadap PLTU dengan indikator pengurangan emisi 35 persen setelah 10 tahun sangat tidak tepat.
Pelabelan PLTU tersebut, lanjut Deon, juga bertentangan prinsip umum mitigasi krisis iklim yaitu sejalan dengan komitmen untuk mencegah suhu global naik 1,5 derajat celsius.
Deon menuturkan, jika ingin konsisten untuk mencegah kenaikan suhu Bumi sesuai target, emisi dari PLTU harus sudah mencapai puncaknya sebelum 2030, mendekati nol pada 2040, dan tidak ada lagi emisi dari PLTU pada 2045.
"Indikator yang dipakai untuk kategorisasi hijau harusnya untuk dukungan pembiayaan yang memungkinkan PLTU untuk mengurangi emisi sebelum 2030 dan berhenti beroperasi sebelum 2045," ungkap Deon.
Selain itu, aktivitas pertambangan dan penggalian mineral yang mendukung industri transisi energi, seperti tembaga, nikel, dan timah, juga masuk dalam kategori "transisi".
IESR menemukan pelabelan ini belum disertai dengan keterangan yang jelas untuk memastikan bahwa semua kegiatan pertambangan dan penggalian secara konsisten mendukung transisi energi.
Baca juga: Greenwashing: Pengertian, Sejarah, dan Ciri-cirinya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya