Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/05/2024, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Melalui pemanfaatan sumber daya alam, Indonesia dapat meraup triliunan rupiah dengan berjualan karbon kredit dari solusi berbasis alam atau nature based solutions (NBS) untuk mitigasi perubahan iklim.

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) Luhut B Pandjaitan mengungkapkan, menurut penelitian dari berbagai lembaga termasuk Mc Kinsey, Indonesia diperkirakan memiliki NBS atau ecological based approach (EBA) mencapai 1,5 gigaton setara karbon dioksida per tahun.

Menurut Luhut, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya alamnya tersebut secara berkelanjutan dan menghasilkan pendapatan dari penjualan karbon melalui mekanisme carbon pricing yang berstandar internasional.

Baca juga: Peningkatan Karbon Dioksida Capai Rekor Tertinggi dalam 500.000 Tahun

Bila dimaksimalkan menjadi karbon kredit, potensi tersebut memiliki nilai 7,1 miliar dollar AS atau Rp 112,5 triliun per tahun.

Dalam forum dialog yang diselenggarakan Tri Hita Karana bersama World Economic Forum, Minggu (19/5/2024), Luhut menuturkan, dunia sedang berupaya menuju masa depan netral karbon atau net zero emisson (NZE).

"Mengacu pada Konsensus COP28 UEA, semua pihak berkomitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil, mempercepat pengurangan emisi NDC (Nationally Determined Contributions) yang ambisius dan berskala ekonomi, dan mendorong tiga kali lipat energi terbarukan dan dua kali lipat efisiensi energi pada 2030," ujar Luhut dikutip dari keterangan tertulis.

Luhut juga menyinggung inisiatif Indonesia sela-sela KTT G20 di Bali pada 2022 lalu yakni Global Blended Finance Alliance (GBFA).

Baca juga: Hingga 30 April, Nilai Perdagangan Karbon Rp 35,31 Miliar

Menurut Luhut, inisiatif tersebut juga dapat menjadi solusi mengahadapi tantangan global perubahan iklim.

Dia menambahkan, GBFA juga mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) untuk negara-negara berkembang, negara terbelakang, negara kepulauan, dan Kolaborasi Global Selatan.

"Melalui GBFA, kami meletakkan dasar bagi perubahan transformatif, memanfaatkan keuangan campuran dan pengetahuan masa depan untuk mempercepat penciptaan nilai dan investasi di sektor-sektor ekonomi utama seperti energi, hutan, ekonomi biru, termasuk hutan bakau dan lamun, kesehatan infrastruktur, dan pariwisata berkelanjutan," jelas Luhut.

Baca juga: Studi: Hutan Dijadikan Alat Perdagangan Karbon Lemahkan Peran Rimba

Luhut menambahkan, GBFA bukan hanya solusi untuk mengatasi transisi energi, namun Indonesia juga memimpin dalam bidang hutan dan bakau sebagai bagian dari NBS untuk aksi iklim.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif berharap GBFA dapat membantu Indonesia mewujudkan NZE pada 2060.

Arifin berujar, pemerintah akan melakukan diversifikasi energi sebagai salah satu upaya untuk mencapai NZE, dengan mengoptimalkan pemanfataan sumber-sumber energi terbarukan.

"Kami yakin bahwa kami dapat mencapai target dan melaksanakan peta jalan, meskipun terdapat beberapa tantangan," tutur Arifin.

Baca juga: Perdagangan Karbon Dikebut, Pemerintah Bentuk Satgas Khusus

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau