KOMPAS.com - Menurut penelitian terbaru yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Oregon State University dan University of St Andrews, laju peningkatan karbon dioksida di atmosfer saat ini 10 kali lebih cepat dibandingkan dalam 50.000 tahun terakhir.
Kadar karbon dioksida di atmosfer sekarang juga 50 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum dimulainya Revolusi Industri dan terus meningkat.
Studi tersebut diterbitkan pada Senin (13/5/2024) di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).
Baca juga: Hingga 30 April, Nilai Perdagangan Karbon Rp 35,31 Miliar
Dalam penelitian tersebut, para peneliti menganalisis inti es Antartika kuno mengandung gelembung udara yang terperangkap selama ratusan ribu tahun.
Spesimen tersebut mengandung catatan berharga mengenai kondisi iklim masa lalu, sebagaimana dilansir Earth.org.
Berdasarkan analisis, disimpulkan bahwa laju peningkatan karbon dioksida saat ini 10 kali lebih tinggi dibandingkan kenaikan alami sebelumnya yang tercatat dalam sejarah.
Para peneliti menyampaikan, fenomena tersebut sebagian besar disebabkan oleh emisi yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Baca juga: Studi: Hutan Dijadikan Alat Perdagangan Karbon Lemahkan Peran Rimba
"Mempelajari masa lalu mengajarkan kita betapa hari ini berbeda. Laju perubahan karbon dioksida saat ini benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya," kata Kathleen Wendt, asisten profesor di Oregon State University sekaligus penulis utama studi tersebut.
Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca antropogenik utama di atmosfer dan bertanggung jawab atas sekitar tiga perempat emisi pemanasan global.
Peningkatan karbon dioksida di Bumi saat ini disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, biomassa, perubahan penggunaan lahan, dan proses industri.
Emisi karbon dioksida global dari bahan bakar fosil telah meningkat lebih dari 60 persen sejak 1990.
Baca juga: Perdagangan Karbon Dikebut, Pemerintah Bentuk Satgas Khusus
Temuan penelitian tersebut juga memiliki implikasi penting terhadap kemampuan Antarktika di Kutub Selatan dalam menyerap karbon dioksida yang dihasilkan manusia.
Antarktika memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dengan menyerap sebagian karbon dioksida yang dihasilkan oleh aktivitas
Namun studi tersebut menunjukkan bahwa penguatan angin selatan, yang diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim, dapat melemahkan kemampuan Antarktika dalam menyerap karbon dioksida di masa depan.
Baca juga: Reduksi Emisi Karbon, Djarum Foundation Tanam Trembesi di Tol Cisumdawu
Hal ini dapat memperburuk konsentrasi karbon dioksida global dan meningkatkan efek rumah kaca, sehingga menyebabkan dampak perubahan iklim lebih lanjut.
Ilmuwan iklim dan ahli geokimia James Rae menulis di X (sebelumnya Twitter), saat ini Antarktika menyerap karbon dioksida dari atmosfer.
"Pergeseran ke arah kutub di wilayah barat saat ini mungkin akan melemahkan penyerapan karbon dioksida di masa depan," kata Rae.
Temuan-temuan dari penelitian tersebut menyoroti keterkaitan sistem iklim bumi dan potensi perubahan iklim yang cepat dan meluas, serta menegaskan bahwa peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia.
Baca juga: Kembangkan Produksi Minim Karbon, SCG Alokasikan Rp 4,6 Triliun
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya