KOMPAS.com - Menjadikan hutan sebagai bagian dari perdagangan karbon justru melemahkan fungsi rimba itu sendiri sebagai sebuah ekosistem kompleks yang memiliki manfaat kesejahteraan sosial tinggi.
Hal tersebut mengemukan dalam studi terbaru oleh Science-Policy Programme (SciPol) dari International Union of Forest Research Organizations (IUFRO).
Salah satu penulis utama studi tersebut, Profesor Constance McDermott dari University of Oxford mengatakan, pendekatan berbasis pasar terhadap tata tata kelola hutan seperti perdagangan karbon menjadi semakin populer belakangan ini.
Akan tetapi, McDermott menuturkan pendekatan tersebut justru berisiko menimbulkan kesenjangan dan memberikan dampak buruk terhadap pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Baca juga: Indonesia Tegaskan Komitmen Pelestarian Hutan di Forum PBB
Ketika krisis iklim semakin parah, upaya dekarbonisasi dan penyerapan karbon menjadi semakin sering digaungkan.
Salah satu sektor yang dilirik untuk upaya menyerap karbon adalah kehutanan. Hutan lantas mengalami komodifikasi, nilai dan fungsinya berubah menjadi komoditi yang memiliki nilai ekonomi.
Dalam penelitian tersebut, hutan akhirnya dijadikan "pasar" baru yang seringkali berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek dibandingkan keberlanjutan dan keadilan jangka panjang.
Di sisi lain, keberhasilan tata kelola hutan internasional dalam memperlambat deforestasi masih terbatas dan sulit diukur, sebagaimana dilansir Forbes, Senin (6/5/2024).
Laporan ini juga memperingatkan bahwa sistem tata kelola kehutanan internasional atau IFG yang ada saat ini menghasilkan "olimpiade" dengan janji dan target yang berbeda-beda.
Baca juga: Indonesia Peringkat 4 Negara yang Kehilangan Hutan Terluas 2023
Laporan tersebut menyatakan, referensi terhadap laju deforestasi sebagai indikator utama efektivitas IFG menunjukkan terbatasnya kesadaran akan keragaman kebutuhan dan permintaan yang terkait dengan hutan di seluruh dunia.
Penulis utama laporan tersebut, Profesor Daniela Kleinschmit dari Freiburg University menuturkan, meskipun tidak ada salahnya melihat hutan dari sudut pandang penyimpanan karbon, ada banyak faktor lain yang juga harus dipertimbangkan.
Dia menyampaikan perlunya penekanan yang lebih besar terhadap hutan sebagai ekosistem, keanekaragaman hayati, dan dampaknya terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar atau bergantung pada hutan.
"Kita harus mencari tahu siapa yang mendapat manfaat dari isu-isu seputar tata kelola hutan, dan siapa yang mungkin dirugikan,” kata profesor tersebut kepada Forbes.
Kleinschmit berujar, kebutuhan dan prioritas masyarakat di berbagai daerah berbeda-beda, termasuk apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka butuhkan dari hutan.
Baca juga: Dalam 1 Menit, Hutan Seluas 10 Lapangan Bola Hilang
Laporan tersebut berpendapat, kebijakan tata kelola hutan harus memasukkan nilai-nilai sosial hutan dan tidak memprioritaskan solusi berbasis pasar.
Kleinschmit juga menuturkan tidak ada pendekatan yang sama yang bisa diterapkan untuk semua orang. Apalagi, di setiap wilayah memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda.
"Di beberapa negara juga terdapat dampak spiritual dan budaya jika Anda menebang pohon atau menanam pohon lain di sana," ucap Kleinschmit.
"Kita harus mempertimbangkan kebutuhan spiritual dan budaya ini," tambahnya.
Baca juga: Kearifan Lokal Terbukti Ampuh dalam Pengelolaan Hutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya