Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 20 Mei 2024, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperbarui panduan pasar keuangan berkelanjutan dari Taksonomi Hijau Indonesia (THI) menjadi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) pada Februari 2024.

Beberapa tujuan dari pembaruan tersebut yakni menarik lebih banyak pembiayaan berkelanjutan ke berbagai sektor, termasuk sektor energi, serta mencapai target netral karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal.

Di sisi lain, lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, meskipun pembaruan tersebut merupakan langkah maju, masih ada celah yang bisa membuatnya kurang efektif.

Baca juga: Aktivis Desak OJK Keluarkan PLTU Batu Bara dari Revisi Taksonomi Hijau

Salah satunya adalah sistem pelabelan yang memberikan peluang bagi aktivitas energi fosil untuk mendapat pembiayaan berkelanjutan.

Dalam TKBI, klasifikasi aktivitas ekonomi tidak lagi dilabeli dengan warna seperti "merah", "kuning", dan "hijau".

Pelabelan dalam TKBI diganti menjadi "tidak memenuhi klasifikasi", "transisi", dan "hijau".

Label "transisi" diterapkan untuk aktivitas yang belum sejalan dengan Persetujuan Paris tapi mengurangi emisi secara signifikan dalam jangka waktu tertentu.

Sedangkan label "hijau" diberikan kepada aktivitas yang sejalan dengan Persetujuan Paris dan mempertimbangkan NZE 2060 atau lebih cepat.

Baca juga: Taksonomi Terbaru ASEAN Diluncurkan, Dukung Penutupan PLTU

IESR menyoroti aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah beroperasi dan pembangunan PLTU baru yang ditetapkan sebelum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 atau PLTU baru yang terintegrasi dengan industri yang dilabeli "transisi".

Di sisi lain, terdapat inkonsistensi antara pelabelan PLTU dengan pembangkit yang lain.

Dalam aspek mitigasi emisi, pembangkit seperti gas, air, panas bumi, dan sebagainya akan dilabeli "transisi" jika emisi daur hidupnya 100-500 gram setara karbon dioksida per kilowatt jam (kWh).

Label pembangkit tersebut akan dikategorikan "hijau" jika emisi daur hidupnya di bawah 100 gram setara karbon dioksida per kWh.

Namun, untuk semua jenis PLTU, pembandingnya bukan emisi daur hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun, dan diwajibkan berhenti beroperasi paling lambat pada 2050.

Baca juga: Tantangan Asia Hadapi Krisis Iklim: Greenwashing hingga Inkonsistensi Kebijakan

Koordinator Keuangan Berkelanjutan IESR Farah Vianda menyampaikan, celah yang ada dalam TKBI dapat memunculkan praktik greenwashing demi mendulang pembiayaan berkelanjutan.

Farah menilai, diperlukan pengkinian secara berkala dan pengetatan kriteria.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Rencana Buka 600.000 Ha Lahan Sawit Baru, Solusi atau Kemunduran?
Rencana Buka 600.000 Ha Lahan Sawit Baru, Solusi atau Kemunduran?
LSM/Figur
Greenpeace: Komitmen Iklim Anggota G20 Tak Ambisius
Greenpeace: Komitmen Iklim Anggota G20 Tak Ambisius
LSM/Figur
RI-Inggris Teken MoU Kurangi Sampah Plastik dan Polusi Laut
RI-Inggris Teken MoU Kurangi Sampah Plastik dan Polusi Laut
Pemerintah
COP30: 300 Juta Dollar AS Dialokasikan untuk Riset Kesehatan Iklim
COP30: 300 Juta Dollar AS Dialokasikan untuk Riset Kesehatan Iklim
Pemerintah
Startup Indonesia Perkuat Ekosistem Inovasi Berkelanjutan lewat Nusantara Innovation Hub
Startup Indonesia Perkuat Ekosistem Inovasi Berkelanjutan lewat Nusantara Innovation Hub
Swasta
WEF: Transisi Hijau Ciptakan 9,6 Juta Lapangan Kerja Baru pada 2030
WEF: Transisi Hijau Ciptakan 9,6 Juta Lapangan Kerja Baru pada 2030
Pemerintah
Celios: Banyak Negara Maju Belum Bayar Utang Ekologis ke Negara Berkembang
Celios: Banyak Negara Maju Belum Bayar Utang Ekologis ke Negara Berkembang
Pemerintah
Skandal Sawit Kalteng: 108 Perusahaan Masuk Kawasan Hutan, Ogah Bangun Kebun Plasma
Skandal Sawit Kalteng: 108 Perusahaan Masuk Kawasan Hutan, Ogah Bangun Kebun Plasma
LSM/Figur
Tantangan Menggeser Paradigma Bisnis Sawit dari Produktivitas ke Keberlanjutan
Tantangan Menggeser Paradigma Bisnis Sawit dari Produktivitas ke Keberlanjutan
Swasta
Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
LSM/Figur
Laporan Mengejutkan: Cuma 19 Persen Perusahaan Sawit di Kalteng Lolos Administrasi
Laporan Mengejutkan: Cuma 19 Persen Perusahaan Sawit di Kalteng Lolos Administrasi
LSM/Figur
Laporan Ceres: Kemajuan Keberlanjutan Air Korporat Terlalu Lambat
Laporan Ceres: Kemajuan Keberlanjutan Air Korporat Terlalu Lambat
Pemerintah
Konsumsi Air Dunia Melonjak 25 Persen, Bank Dunia Ungkap Bumi Menuju Kekeringan
Konsumsi Air Dunia Melonjak 25 Persen, Bank Dunia Ungkap Bumi Menuju Kekeringan
Pemerintah
COP30: 70 Organisasi Dunia Desak Kawasan Bebas Energi Fosil di Hutan Tropis
COP30: 70 Organisasi Dunia Desak Kawasan Bebas Energi Fosil di Hutan Tropis
LSM/Figur
Perkuat Ketahanan Lingkungan dan Ekonomi Warga, Bakti BCA Restorasi Mata Air dan Tanam 21.000 Pohon
Perkuat Ketahanan Lingkungan dan Ekonomi Warga, Bakti BCA Restorasi Mata Air dan Tanam 21.000 Pohon
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau