Seperti disampaikan sebelumnya, mereka dapat menciptakan sumber ekonomi baru termasuk membuka lapangan kerja, mendorong industrialisasi skala kecil, dan menumbuhkan UMKM.
Lalu, energi berbasis komunitas dapat menjangkau daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).
“Kemudian, mendorong transisi energi yang berkeadilan dengan pelibatan masyarakat langsung,” tutur dia.
Lalu, memiliki biaya investasi lebih murah dibanding proyek skala besar. Serta mendorong ketahanan energi tanpa bergantung pada sumber fosil.
“Jadi, memberikan uang kepada perusahaan skala besar, versus memberikan uang yang mungkin secara teknis akan lebih rumit tapi harus dilakukan ke usaha skala kecil yang jumlahnya banyak secara kuantitas atau volume, secara ekonomi bisa lebih besar,” papar dia.
Saat berbicara mengenai transisi energi yang berkeadilan, tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemerataan ekonomi.
Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dinilai mampu berdampak pada penurunan ketimpangan antar wilayah selama 20 tahun, dengan implementasi dari 0,74 ke 0,71. Menurutnya, energi berbasis komunitas sangat cocok diterapkan di Indonesia.
“Kajian ini diharapkan dapat membuka mata para pengambil kebijakan untuk menggeser kebijakan transisi energi yang selama ini hanya berfokus pada pembangkit skala besar yang justru rentan menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat lokal,” pungkas Bhima.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya