Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lenny Hidayat
Adviser

Pemerhati Ekonomi, Lingkungan dan Sosial

Potensi Pembiayaan Hijau di Era Net Zero

Kompas.com - 30/05/2024, 16:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERHELATAN World Water Forum (WWF) baru-baru ini mengingatkan dunia pentingnya elemen dasar air sebagai fondasi peradaban manusia.

Dengan komitmen Indonesia untuk meraih Net Zero 2060, praktik ESG akan menjadi salah satu tonggak ketahanan Indonesia terhadap perubahan iklim.

Namun pertanyaannya, sudahkah komitmen politik ini disertai dengan peraturan turunan untuk memastikan komitmen pelaku sektor, sub-sektor dan melindungi kepentingan lingkungan sosial melalui penerapan tata kelola yang bertanggung jawab?

Mari kita lihat bersama komitmen politik dan regulasi terhadap pembiayaan hijau di Indonesia.

Di awal tahun 2023, pemerintah Indonesia menaikkan komitmen penurunan emisi (Enhanced Nationally Determined Contribution/ENDC) sebesar 2,89 persen (dari 29 persen mandiri dan 41 persen via bantuan internasional menjadi ENDC: 31,89 persen mandiri dan 43,89 persen via bantuan internasional) sesuai dengan rilis Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Target ini membutuhkan koordinasi intens minimal dari 5 sektor sasaran, yaitu FOLU (Forestry and other Land Use), energi, pertanian, IPPU (industrial process and production use), serta waste.

Dari perspektif ketahanan iklim, dibutuhkan tambahan sektor yang sangat krusial dalam menopang aktivitas manusia, yaitu air, air limbah, energi terbarukan, pangan, dan kesehatan.

Tentunya sektor ini membutuhkan pembiayaan untuk fase transisi dari penggunaan energi fosil ataupun praktik yang kurang berkelanjutan menjadi praktik berkelanjutan.

Di sektor finansial, OJK telah melakukan beberapa upaya dalam penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia.

Upaya tersebut dimulai dengan menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap 1 untuk tahun 2015-2019, menerbitkan peraturan terkait Implementasi Sustainable Finance (POJK 51/2017) & Green Bond (POJK 60/2017), penerbitan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II tahun 2021-2025, sampai Februari 2024, OJK menerbitkan buku Taksonomi Hijau Indonesia yang akan terus disempurnakan.

Jika kita menilik ke para pelaku sektor, istilah ESG dan Net Zero sudah mulai bergaung, tetapi masih berupa gema sunyi di Indonesia.

Istilah ESG masih terasa asing dan kurang konkret bagi masyarakat umum karena manfaat, jenis produk dan cakupan layanan khas Indonesia, baik dari sisi kebutuhan dan ketersediaan pembiayaan hijau belum teridentifikasi menyeluruh.

Yang dipahami publik pada umumnya praktik ESG dan pelaporan pembiayaan hijau hanya berupa pelaporan sesuai dengan SE OJK No 16 tahun 2021 tentang Pelaporan Berkelanjutan dan POJK 51 tahun tentang Keuangan Berkelanjutan.

Hal ini juga menandakan potensi besar bagi Indonesia untuk merespons dan menformulasi strategi baik dari sisi pembiayaan hijau dan juga emisi.

Beberapa negara terutama US dan Uni Eropa telah mewajibkan semua entitas melaporkan praktik ESG melalui pelaporan emisi karbon per sektor dari aktivitas perusahaan dan industri.

Karena keseragaman standar ESG dan sistem pertukaran karbon yang diregulasi ketat dan jelas, pasar karbon di negara-negara maju seperti US, Jepang, Canada, Eropa, Korea, dan Singapura dapat berjalan dan memberikan insentif bagi pelaku pasar.

Untuk memenuhi kuota mereka, perusahaan multinasional bahkan sudah masuk ke Indonesia dalam rangka menangkap potensi pembelian karbon, baik dari bursa resmi atau bursa sukarela.

Namun dengan maraknya perdagangan karbon ini, satu isu yang perlu diperhatikan, yaitu isu greenwashing. Isu ini menjadi risiko utama yang paling dikhawatirkan dalam proses transisi ini.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sustainability atau yang sekarang disebut dengan istilah Environmental Social Governance (ESG) atau Standard Lingkungan Sosial dan Tata Kelola (LST) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan strategi korporasi.

Yang menjadi permasalahan adalah niat atau intensi di belakang dari operasi LST ini. Apakah hanya strategi untuk betul-betul menyelaraskan nilai dengan kepentingan publik atau memenuhi peraturan compliance atau bahkan pencitraan belaka?

Inilah salah satu alasan sedikit sekali perusahaan Indonesia yang mendapatkan status low risk di beberapa rating tingkat dunia.

Contoh Candra Asri dan Pertamina yang mendapatkan low risk setelah bertahun-tahun berusaha untuk mengurangi risiko pencemaran lingkungan dan berkontribusi terhadap sosial dan penerapan tata kelola yang baik.

Jika kita bandingkan dengan standar ESG di tingkat internasional, mereka lebih mementingkan perubahan dari sisi operasi agar dapat berkontribusi terhadap dampak lebih luas.

Hal ini membutuhkan komitmen politik dan legal dari pemerintah yang diikuti dengan transformasi dan inovasi para pemilik usaha dan pemegang saham agar prestasi LST melebihi dari status low risk di pelaporan disclosure.

Karenanya, bagi entitas yang mengadopsi penurunan emisi di luar dari cakupan bisnisnya, maka ESG harus diubah menjadi salah satu aksi untuk mengawali adaptasi dan mitigasi risiko-risiko dari perubahan iklim yang cenderung memiliki faktor lebih panjang.

Proses transisi berikutnya adalah bagaimana mengubah ESG menjadi Climate Action.
Tiga faktor kunci antara lain peningkatan standard ESG, pembiayaan masa transisi, dan kepastian regulasi dari pemerintah.

Dari sisi peningkatan standard ESG, sangat dibutuhkan agar pemerintah dan sektor swasta dapat memobilisasi investasi luar negeri.

Cakupan aksi ESG perusahaan harus lebih luas dari cakupan wilayah operasi karena sekali kena dampak seperti bocornya kapal tanker minyak, polusi limbah, akuisisi lahan, efeknya luas sekali terhadap lanskap kewilayahan.

Jalur climate action lainnya adalah memperluas praktik elemen S dan G. Salah satu contoh elemen S, intervensi dapat diperluas mencakup proses transisi SDM sekitar dan di luar wilayah operasi dalam bentuk reskilling, upskilling dalam rangka transisi penghidupan bagi masyarakat terdampak terutama kelompok marginal, perempuan dan anak-anak.

Kemudian elemen G, diwujudkan dengan penyediaan variasi pembiayaan hijau untuk mendorong inovasi UMKM agar dampak dapat lebih berkelanjutan dan masyarakat yang terbantu dapat menjadi lebih mandiri dalam mengelola inisiasi sosial ekonomi.

Dengan pendekatan di atas, terlihat ESG mengubah visi perusahaan untuk tidak hanya mempraktikkan safeguards hanya dalam koridor core business, namun juga mengadopsinya di luar wilayah operasi sehingga memberikan dampak di luar dari wilayah operasi.

Khusus kepastian regulasi pemerintah, hal ini haruslah menjadi salah satu agenda politik ekonomi yang sangat penting untuk diusung oleh kabinet baru. Hanya dengan menggunakan pembiayaan hijau untuk mendanai transisi, barulah tujuan Net Zero dapat tercapai.

Contoh komitmen pembiayaan dari perhelatan G-20 melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) masih ditunggu bentuk konkretnya. Sama halnya dengan komitmen pembiayaan hasil dari World Water Forum yang baru saja berakhir.

Pembiayaan transisi juga dapat dimobilisasi oleh regulator, khususnya Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa keuangan, dan Bank Indonesia serta Kementerian kelembagaan terkait sudah dapat memberikan kepastian dari sisi pembiayaan.

Sumber pembiayaan domestik seperti dana reksa, dana pensiun serta peningkatan kapasitas perbankan agar lebih banyak mengeluarkan produk pembiayaan bauran (blended finance) sehingga sektor swasta dapat berpartisipasi dalam inovasi produk dan layanan hijau.

Terakhir, kepastian regulasi penjualan karbon dan regulasi penukaran karbon serta pajak karbon juga harus dipastikan dengan monitoring indikator ESG yang lebih menyeluruh dengan insentif yang jelas dari pemerintah.

Dengan strategi pendekatan ini, maka niscaya ekosistem pembiayaan hijau di Indonesia lebih terakselerasi dan dapat membuka lebih banyak kesempatan dan lapangan pekerjaan bagi generasi baru yang berkelanjutan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau