JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak maupun remaja yang terkena obesitas salah satu faktornya disebabkan oleh kebiasaan konsumsi junk food, atau makanan cepat saji yang rendah nutrisi dan tinggi kalori, lemak, gula, garam.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Donny K. Mulyantoro mengatakan, anak maupun remaja penderita obesitas menjadi rentan terjangkit penyakit serius, seperti hipertensi hingga diabetes.
Sayangnya, kebiasaan mengonsumsi junk food atau makanan instan lainnya kerapkali menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Salah satunya disebabkan oleh paparan iklan media yang tinggi.
Baca juga: Program JKN Indonesia Dipuji Organisasi Kesehatan Dunia
"Kita bersaing ketat dengan media berbasis industri makanan junk food. (Promosi) mereka lebih terstruktur, sistematis, dan masif. Biaya iklan mereka dibebankan juga pada konsumen, jadi anggarannya tinggi," ujar Donny.
Hal itu ia sampaikan dalam Webinar Nasional "Obesitas pada Anak dan Remaja di Indonesia: Kondisi dan Tantangan Terkini" yang digelar oleh Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN yang dipantau daring, Rabu (29/5/2024).
Sementara itu, informasi dan imbauan mengenai pentingnya pola makan sehat dari pemerintah maupun swasta, kalah dengan iklan-iklan perusahaan makanan tersebut.
Saat melihat layar televisi atau media sosial, misalnya, yang muncul adalah promosi-promosi menarik serta sistematis dari berbagai merek makanan atau minuman tidak sehat. Pengaruh dari teman sebaya juga menjadi alasan.
"Bagaimana promosi bisa masuk ke dunia anak-anak jaman now, bukannya pesan-pesan kesehatan, di mana ini menjadi suatu gaya hidup. Ketika teman sebaya suka dengan hal-hal itu, maka dia (juga) akan ikut," imbuhnya.
Sementara itu, Epidemiologi Ahli Madya, Kementerian Kesehatan, dr. Uswatun Hasanah mengatakan kementerian sebenarnya telah melakukan sejumlah upaya menekan obesitas, termasuk dari konsumsi junk food.
Baca juga: Pemensiunan PLTU Batu Bara Bisa Cegah Kerugian Kesehatan Rp 2.400 Triliun
Untuk melindungi konsumen, BPOM dan Kementerian Kesehatan telah mencantumkan Informasi Nilai Gizi (ING) GGL (Gula, Garam, Lemak) pada makanan dan minuman kemasan. Namun, ia mengakui perlunya sosialisasi dan edukasi lebih luas.
"Ada pencantuman label kandungan gula garam lemak agar masyarakat tau batasan-batasan maksimal untuk konsumsi gula, garam, lemak. Di mana sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat secara terus-menerus masih menjadi program di Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM)," papar dia.
Kemenkes juga telah secara rutin mempromosikan mengenai pencegahan obesitas kepada masyarakat.
"Kami setiap tahun selalu memperingati hari Obesitas Sedunia, kami melakukan workshop, webinar, dan media briefing. Selain itu, kami juga mengadakan podcast di radio Kemenkes," terangnya.
Baca juga: Hari Kesehatan Sedunia, WHO Kampanyekan Pentingnya Keadilan
Kendati demikian, ujarnya, secara umum kesadaran masyarakat untuk perilaku mencegah terjadinya faktor risiko obesitas masih kurang. Apalagi, sulit mengubah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan.
"Namun mengubah perilaku dan meningkatkan kesaaran itu tidak gampang ya. Jadi kita tidak bosan untuk terus mengingatkan kepada masyarakat," ujar dr. Uswatun.
Donny dan dr. Uswatun pun menyampaikan pentingnya kolaborasi semua pihak, lintas sektor, untuk dapat terus menyebarkan informasi pencegahan obesitas. Termasuk kebijakan yang mengikat, misalnya aturan iklan tertentu yang ditampilkan di media.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya