Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arip Muttaqien
Akademisi/Peneliti (Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI)

Saat ini berkiprah sebagai akademisi/peneliti di Universitas Indonesia. Tertarik dengan berbagai topik ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan internasional, Asia Tenggara, monitoring-evaluasi, serta isu interdisiplin. Doktor ekonomi dari UNU-MERIT/Maastricht University (Belanda). Alumni generasi pertama beasiswa LPDP master-doktor. Pernah bekerja di ASEAN Secretariat, Indonesia Mengajar, dan konsultan marketing. Bisa dihubungi di https://www.linkedin.com/in/aripmuttaqien/

Indonesia Menuju Keanggotaan OECD: Analisis Kriteria Bidang Kebijakan Lingkungan

Kompas.com - 11/06/2024, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini, proses aksesi Indonesia ke Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) terus berjalan.

Sesuai dengan Peta Jalan Aksesi OECD untuk Indonesia (OECD Accession Roadmap for Indonesia) yang dikeluarkan pada 2 Mei 2024, akan dilakukan asesmen pada 26 komite teknis.

Setiap komite memiliki dua tugas utama. Pertama, menilai keinginan dan kemampuan Indonesia dalam mengimplementasikan instrumen hukum OECD.

Kedua, membandingkan kebijakan dan praktik di Indonesia dengan standar yang diterapkan oleh OECD.

Komite Kebijakan Lingkungan (Environment Policy Committee) adalah komite dengan jumlah kriteria terbanyak, yakni 21 kriteria.

Sebagai informasi, total ada 169 kriteria yang harus dipenuhi. Khusus untuk 6 kriteria, terdapat tambahan 35 sub-kriteria.

Berdasarkan situs web instrumen hukum OECD (OECD legal instruments), terdapat 42 instrumen hukum yang diawasi oleh Komite Kebijakan Lingkungan, menjadikannya komite dengan jumlah instrumen hukum terbanyak dibandingkan komite lainnya. Secara keseluruhan, 26 komite teknis memiliki 227 instrumen hukum.

Tantangan asesmen bidang kebijakan lingkungan

Setidaknya, 21 kriteria dalam bidang lingkungan tersebut dapat dikelompokkan menjadi enam kategori. Kelompok pertama adalah kebijakan terkait emisi dan iklim yang terdiri dari dua kriteria.

Pertama, strategi untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2050. Kedua, investasi untuk memperkuat daya adaptasi dan ketahanan iklim.

Dalam konteks ini, Indonesia telah mengirimkan target komitmen nasional ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Juli 2021.

Salah satunya adalah strategi jangka panjang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2030 dan mencapai net-zero emission pada 2060 atau lebih cepat.

Berkaca dari target ini, Indonesia belum sepenuhnya memenuhi target OECD untuk mencapai net-zero emission pada 2050.

Beberapa tantangan tersebut meliputi mobilisasi sumber daya keuangan dan koordinasi antarpihak terkait.

Sebagai contoh, pascapandemi COVID-19, Indonesia butuh dana sebesar Rp 122.000 triliun untuk mencapai SDGs hingga tahun 2030, dengan defisit pembiayaan yang mencapai Rp 24.000 triliun.

Kelompok kedua adalah menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem. Setidaknya ada dua kriteria untuk kategori ini. Pertama, melakukan konservasi keanekaragaman hayati. Kedua, melakukan konservasi laut.

Pada prinsipnya, OECD meminta setiap anggota untuk memiliki kebijakan dan strategi yang jelas untuk kedua kriteria tersebut.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, namun terancam oleh perubahan penggunaan lahan dan perburuan ilegal.

Aktivitas seperti konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan sangat memengaruhi ekosistem. Penegakan hukum sangat penting, meskipun belum optimal.

Untuk konservasi laut, berbagai inisiatif telah dilakukan, seperti pembentukan kawasan konservasi laut, rehabilitasi mangrove, dan perlindungan terumbu karang.

Meskipun ada kemajuan, upaya lebih lanjut masih diperlukan untuk mencapai target yang diharapkan.

Kelompok ketiga terkait dengan air, udara, polusi, dan manajemen sampah. Setidaknya ada tujuh kriteria dalam kelompok ini, meliputi: manajemen air berkelanjutan, pencegahan polusi, tanggung jawab pembuat polusi, manajemen sampah, pengurangan sampah, dan manajemen sampah berbahaya.

Sebagian besar kondisi Indonesia dalam kelompok ini belum memenuhi standar OECD.

Sebagai contoh, pengelolaan air mengalami tekanan besar di perkotaan dan daerah industri. Jangan membandingkan dengan air kran di Eropa yang pada umumnya bisa diminum (tap water).

Sebagian besar kondisi Indonesia dalam kelompok ini belum memenuhi standar OECD. Sebagai contoh, pengelolaan air mengalami tekanan besar di perkotaan dan daerah industri.

Tidak perlu membandingkan dengan air keran di Eropa yang umumnya bisa diminum.
Beberapa kasus limbah berbahaya belum ditangani secara optimal.

Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, namun pengawasan dan audit terhadap pihak yang berkontribusi terhadap limbah berbahaya masih perlu ditingkatkan.

Pengelolaan sampah juga sangat bervariasi antardaerah. Banyak sampah masih berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) secara terbuka, menyebabkan pencemaran lingkungan.

Upaya pengurangan sampah sudah dimulai, tetapi dampaknya belum signifikan. UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah ada, namun implementasinya belum maksimal.

Polusi udara cenderung memburuk, menyebabkan banyak gangguan kesehatan. Program Langit Biru sudah pernah diluncurkan untuk mengurangi polusi udara perkotaan, tetapi diperlukan upaya lebih luas untuk memastikan pengurangan polusi dari semua sumber emisi.

UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mencakup prinsip pencemar membayar (polluter-pays principle), mewajibkan pihak yang merusak lingkungan untuk menanggung biaya pemulihan. Namun, penegakan terhadap prinsip ini masih belum maksimal.

Kebijakan ekonomi yang mendukung lingkungan

Tantangan berikutnya adalah kelompok keempat, terkait kebijakan dan instrumen ekonomi untuk mendukung pengelolaan lingkungan.

Kriteria yang harus dipenuhi meliputi: implementasi prinsip pencemar membayar, instrumen ekonomi pendukung kebijakan lingkungan, pengurangan subsidi produk berbahaya, serta integrasi kebijakan.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, prinsip pencemar membayar perlu lebih ditegaskan dalam implementasi untuk menekan tingkat polusi. Kebijakan lain yang perlu didorong adalah pajak karbon dan insentif untuk energi terbarukan.

Penghapusan subsidi bahan bakar fosil adalah kebijakan kontroversial. Proses ini selalu menghadapi tantangan dampak sosial dan politik, seperti inflasi dan penurunan daya beli masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Perlu perhatian lebih dalam mengintegrasikan instrumen pasar dan non-pasar sebagai pendekatan utama.

Contoh instrumen pasar adalah pajak karbon dan sertifikat energi terbarukan. Contoh instrumen non-pasar adalah regulasi lingkungan hidup.

Terakhir, pemerintah sebenarnya sudah melakukan integrasi berbagai kebijakan terkait lingkungan. Misalnya, dalam penyusunan RPJMN, Rencana Aksi Nasional Pembangunan Rendah Karbon, dan sebagainya.

Namun yang lebih penting adalah menjaga tahapan implementasi agar mencapai target yang ditetapkan.

Kelompok kelima terkait dengan asesmen, monitoring, dan penegakan hukum. Ini adalah bagian terpenting dalam implementasi seluruh regulasi.

Sebagai contoh, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) telah menjadi persyaratan, namun efektivitas dan tindak lanjutnya masih perlu ditingkatkan.

Selain itu, Pemerintah telah mengembangkan Sistem Informasi Lingkungan Hidup (SILH) untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi terkait lingkungan.

Hal yang paling penting adalah mengintegrasikan berbagai sumber data dan memastikan akurasi data tersebut.

Penegakan hukum terkait pelanggaran aturan sering kali belum optimal. Tantangan terbesar meliputi korupsi, sumber daya yang terbatas, dan koordinasi antarlembaga. Pengawasan harus diperketat untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum.

Kelompok keenam mencakup kerja sama dan komitmen internasional, termasuk kewajiban terhadap perjanjian multilateral serta dukungan kepada negara non-OECD dalam kebijakan lingkungan.

Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional terkait lingkungan, namun perlu memperkuat implementasi di tingkat domestik.

Sebagai penutup, Indonesia sedang berupaya memenuhi standar OECD terkait kebijakan lingkungan. Meskipun sudah ada kemajuan, masih diperlukan langkah lebih lanjut untuk benar-benar mencapai standar yang ditetapkan.

Tanpa adanya kemajuan berarti, nampaknya agak sulit untuk menjadi anggota OECD secara resmi dalam waktu dekat.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Dorong Kesetaraan Pendidikan, TenarisSPIJ Salurkan Beasiswa untuk Pelajar Cilegon
Dorong Kesetaraan Pendidikan, TenarisSPIJ Salurkan Beasiswa untuk Pelajar Cilegon
Swasta
Badan Geologi Ungkap Pemicu Tambang Galian C di Cirebon Longsor dan Tewaskan 14 Orang
Badan Geologi Ungkap Pemicu Tambang Galian C di Cirebon Longsor dan Tewaskan 14 Orang
Pemerintah
Peningkatan Kekuatan Militer Global Jadi Ancaman Tujuan Iklim
Peningkatan Kekuatan Militer Global Jadi Ancaman Tujuan Iklim
Pemerintah
Permudah Calon Jemaah Haji Disabilitas dan Lanjut Usia, Wings Air Operasikan Penerbangan Feeder
Permudah Calon Jemaah Haji Disabilitas dan Lanjut Usia, Wings Air Operasikan Penerbangan Feeder
Swasta
Aksi Muda Jaga Iklim, Ajak Anak Muda Tanam Pohon hingga Transplantasi Karang
Aksi Muda Jaga Iklim, Ajak Anak Muda Tanam Pohon hingga Transplantasi Karang
LSM/Figur
BRIN Buka Peluang Kerja Sama dengan Oman untuk Rehabilitasi Mangrove
BRIN Buka Peluang Kerja Sama dengan Oman untuk Rehabilitasi Mangrove
Pemerintah
PBB: Kerugian Bencana 10 Kali Lebih Besar dari Perkiraan
PBB: Kerugian Bencana 10 Kali Lebih Besar dari Perkiraan
Pemerintah
PBB Sebut 2,8 Miliar Orang Tidak Punya Akses Perumahan yang Layak
PBB Sebut 2,8 Miliar Orang Tidak Punya Akses Perumahan yang Layak
Pemerintah
KLH Tegur Keras Perusahaan yang Abaikan Dampak Lingkungan
KLH Tegur Keras Perusahaan yang Abaikan Dampak Lingkungan
Pemerintah
Pemerintah Bangun Transmisi 47 Ribu Kms untuk Alirkan Listrik dari Pembangkit EBT
Pemerintah Bangun Transmisi 47 Ribu Kms untuk Alirkan Listrik dari Pembangkit EBT
Pemerintah
RUPTL PLN dan Pragmatisme Transisi Energi
RUPTL PLN dan Pragmatisme Transisi Energi
Pemerintah
China Kini Lebih Banyak Biayai Energi Hijau Ketimbang Batubara
China Kini Lebih Banyak Biayai Energi Hijau Ketimbang Batubara
Pemerintah
Dari Sprei Bekas Jadi Cuan: Misha Oen Ubah Limbah Jadi Harapan
Dari Sprei Bekas Jadi Cuan: Misha Oen Ubah Limbah Jadi Harapan
LSM/Figur
Krisis Industri Penerbangan, Target Keberlanjutan Terancam Tak Tercapai
Krisis Industri Penerbangan, Target Keberlanjutan Terancam Tak Tercapai
Swasta
Studi Ungkap Begini Nasib Bumi Jika Amazon Mengering
Studi Ungkap Begini Nasib Bumi Jika Amazon Mengering
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau