Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 11 Juni 2024, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, peralihan dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik mesti mengutamakan angkutan umum.

Dengan mengutamakan angkutan umum, peralihan tersebut tak hanya berdampak terhadap pengurangan emisi, melainkan juga mengurai kemacetan.

Hal tersebut, juga dapat penyelesaian masalah polusi udara kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta dan lainnya.

Baca juga: Target 15 Juta Kendaraan Listrik pada 2030, Ini Strategi Pemerintah

"Ini momentum untuk memperbaiki angkutan umum dengan listrik, sekalian mengatasi kemacetan dan polusi juga," kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), sebagaimana dilansir Antara, Senin (10/6/2024).

"Kalau tetap fokus layani kendaraan pribadi, tetap macet, untuk apa?", sambungnya.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membeli 552 bus listrik sebagai program insentif kendaraan listrik dengan nilai Rp 12,3 triliun untuk dua tahun anggaran, 2023-2024.

Bus-bus tersebut diproyeksikan dapat beroperas di 1.824 perumahan kelas menengah dan bawah di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

Armada itu dikerahkan guna mengisi kekosongan layanan angkutan umum dan mengatasi kemacetan, termasuk di Jakarta.

Baca juga: Elon Musk Disebut Pertimbangkan Investasi Baterai Kendaraan Listrik di RI

Djoko menuturkan, sebagian besar Jakarta sudah terlayani angkutan umum dengan persentase 88,2 persen.

"552 bus listrik itu bisa dimanfaatkan untuk 1.824 perumahan kelas menengah yang masih kosong layanan angkutan umumnya di wilayah Bodetabek," ucap Djoko.

Menurutnya, sekadar beralih ke kendaraan listrik tanpa memperhatikan angkutan umum tidak efektif mengatasi masalah kemacetan di Jakarta.

"Peralihan ke kendaraan listrik itu untuk tekan emisi gas buang. Nah, sekarang transportasi publik diganti ke listrik saja, tak hanya Jakarta, termasuk daerah lainnya. Jadi, selain emisi ditekan, kemacetan juga berkurang," ucap Djoko.

Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Pemerintah Indonesia menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit kendaraan listrik roda dua mengaspal pada 2030.

Baca juga: Sambut WWF ke-10 di Bali, 231 Kendaraan Listrik Dikerahkan

Dari target tersebut, diharapkan terjadi penghematan energi sebesar 29,79 juta barel setara minyak dan reduksi emisi 7,23 juta karbon dioksida ekuivalen.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana berujar, pemerintah menetapkan target yang ambisius untuk penerapan kendaraan listrik.

Dia menambahkan, sektor transportasi merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar.

Untuk itu, upaya dekarbonisasi di sektor transportasi melalui elektrifikasi sangat penting, untuk mengurangi bahan bakar fosil.

Total 11 juta kendaraan yang mengaspal di Indonesia telah menghasilkan lebih dari 35 juta ton emisi karbon dioksida, sedangkan truk mengeluarkan lebih dari 50 juta ton.

"Dalam hal ini, sistem transportasi yang berkelanjutan dan bersih sangat penting untuk memitigasi dampak lingkungan yang signifikan dari sektor transportasi," ujar Dadan, 22 Mei 2024.

Baca juga: Kembangkan Kendaraan Listrik, Budi Karya Inginkan Kolaborasi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau