KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, dampak dari penyakit tuberkulosis (TBC) bersifat multidimensi.
Dampak yang ditimbulkan oleh TBC tidak hanya pada kesehatan, namun juga secara psikologis, sosial, dan ekonomi.
Hal tersebut disampaikan Muhadjir dalam Kick Off Rapat Koordinasi Penanggulangan TBC, yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Gedung Sasana Bhakti Praja Kantor Kemendagri, Senin (10/6/2024).
Baca juga: Pakar: RI Bisa Belajar dari India Tekan Kematian TBC
"Oleh karena itu, selain memastikan akses terhadap layanan kesehatan, kebijakan mitigasi biaya dan perlindungan finansial tambahan juga harus diberikan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan miskin yang terdampak TBC," ujar Muhadjir dikutip dari situs web Kemenko PMK.
Muhadjir menjelaskan, penanganan terhadap TBC dimulai dengan skrining dan pelacakan penderita untuk mendapatkan intervensi pengobatan. Beberapa daerah juga telah melakukan jemput bola dengan skrining mobile.
Dia menuturkan, agar pengobatan TBC berhadil, perlu dukungan komplementer pengobatan meliputi pemberian nutrisi dan biaya transport ke fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan psikososial, serta pemberdayaan ekonomi.
Selain itu, perlu juga mengetahui permasalahan TBC pada kelompok populasi miskin dan rentan miskin, termasuk mengupayakan perlindungan pada kelompok populasi tersebut.
Baca juga: Studi: Infeksi TBC Berkaitan Peningkatan Risiko Berbagai Kanker
Dari data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), banyak penderita TBC yang berasal dari keluarga rentan miskin, miskin, dan rentan miskin ekstrem.
Sehingga mereka perlu mendapatkan perhatian khusus dari segi pengobatan dan segi ekonomi dengan skema perlindungan sosial agar tidak jatuh menjadi miskin ekstrem.
Muhadjir menyampaikan, pemerintah menargetkan TBC dapat tereliminasi dari Indonesia tahun 2030.
WHO Global Tubercolusis Report 2023 mengestimasikan, angka kejadian TBC di Indonesia sebanyak 1.060.000 kasus atau setara dengan 385 kasus per 100.000 penduduk.
Baca juga: Kasus TBC Sensitif Obat Capai 808.000 Kasus Tahun Lalu
Dia menambahkan, target untuk mengeliminasi TBC pada 2030 tersisa enam tahun.
Oleh karenanya, diperlukan upaya memperkuat kolaborasi untuk percepatan penanggulangan TBC di tingkat pusat hingga daerah.
"Peran para kepala daerah sangat penting untuk memastikan terlaksananya sembilan tanggung jawab pemerintah daerah dalam penanganan TBC sesuai amanah Perpres Nomor 67 Tahun 2021," ujarnya.
Menurutnya, perlu upaya kolaborasi yang berdaya guna dan berhasil guna mencapai eliminasi TBC tahun 2030, mengingat masih ada kesenjangan dalam implementasi program penanggulangan penyakit tersebut.
"Dalam penanggulangan TBC, pemerintah daerah agar berkolaborasi dengan mitra organisasi kemasyarakatan, komunitas, organisasi profesi, dan organisasi lain yang berada di daerah masing-masing termasuk mitra-mitra yang jejaringnya juga telah tersebar di wilayah Indonesia," jelasnya.
Baca juga: Dokter: Terpapar TBC Tidak Berarti Langsung Sakit, Ada Rentang Waktu
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya