KOMPAS.com - Sepanjang 2023 tercatat ada 808.000 kasus tuberkulosis (TBC) sensitif obat (SO) dan sekitar 88 persen memulai pengobatan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi sebagaimana dilansir Antara, Kamis (4/4/2024).
Imran menuturkan, TBC SO adalah kondisi di mana Mycobacterium tuberculosis alias bakteri penyebab TBC masih sensitif terhadap obat anti-TBC yang potensial.
Baca juga: Dokter Paparkan Ciri-ciri Batuk karena TBC
"Walaupun dampaknya tidak seberat TBC RO (resisten obat), namun penularannya relatif sama dengannya," ujar Imran.
Angka tersebut menunjukkan ada ratusan ribu orang sudah terkonfirmasi mengidap TBC SO namun belum memulai pengobatan.
Imran beurjar, kondisi tersebut berisiko menimbulkan penularan ke orang lainnya.
TBC SO dan TBC RO disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat, sehingga menyebabkan Mycobacterium tuberculosis kebal terhadap obat-obatan.
Baca juga: Rutin Buka Jendela Jadi Upaya Cegah Bakteri TBC
Dia menyebutkan, salah satu isu dalam penanganan TBC adalah tingginya angka putus pengobatan.
Imran berujar, isu tersebut mengemuka karena beberapa hal yakni durasi pengobatan yang cukup lama minimal enam bulan, adanya efek samping obat, kesulitan akses, masalah ekonomi, dan stigma.
Menurutnya, apabila TBC tidak ditangani secara tepat, maka berisiko menjadi TBC RO serta kerusakan fungsi paru-paru.
Imran mengatakan, TBC menjadi penyakit yang menjadi beban secara global dan nasional.
Baca juga: Dokter: Terpapar TBC Tidak Berarti Langsung Sakit, Ada Rentang Waktu
Diperkirakan ada 121 kasus TBC per jam di Indonesia. Dan setiap jamnya, TBC membunuh 15 orang.
Dia berucap, Indonesia telah melakukan upaya-upaya yang signifikan dalam pemberantasan TBC.
Sebagai buktinya, kata dia, pada 2023 ada sebanyak 821.000 kasus atau 77 sampai 78 persen dari 1.090.000 penderita TBC baru yang diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selain itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, di mana setiap fasilitas kesehatan yang menemukan kasus TBC wajib melaporkan kepada dinas kesehatan dan mencatatnya di Sistem Informasi Tuberkulosis.
Baca juga: Pengidap TBC Rentan Alami Gangguan Kesehatan Mental dari Lingkungan
Guna mengoptimalkan kualitas layanan serta kontribusi pelaporan tersebut, Imran menyampaikan pemerintah melakukan sejumlah upaya lain seperti bekerja sama dengan jaringan rumah sakit di Indonesia.
Menurutnya, tenaga kesehatan merupakan ujung tombak dalam penanganan TBC seperti diagnosis, penemuan kasus, pengobatan, hingga edukasi bagi masyarakat.
Mereka juga berperan sebagai pendamping dan pendukung para pasien agar semangat menjalani pengobatan sampai tuntas.
Namun demikian, eliminasi TBC tak sebatas menjadi tugas tenaga kesehatan, melainkan merupakan tanggung jawab seluruh pihak.
Baca juga: Pakar: TBC Dapat Diatasi dengan Pencegahan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya