AIR tanah di Jakarta merupakan salah satu sumber air yang penting bagi warganya. Namun, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan urbanisasi tidak terkendali, kondisi air tanah di kota ini mengalami tekanan signifikan.
Peningkatan konsumsi air tanah oleh industri dan rumah tangga menyebabkan penurunan cadangan air tanah.
Masalah ini diperburuk minimnya sistem pengelolaan dan perlindungan air tanah, yang pada akhirnya berdampak pada ketersediaan dan kualitas air bagi warga Jakarta.
Jakarta mengalami penurunan kualitas lingkungan akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Aktivitas ini telah menyebabkan penurunan muka tanah (land subsidence) yang signifikan, di mana tanah mengalami penurunan yang cukup mengkhawatirkan per tahunnya.
Profesor Riset Bidang Metereologi Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Eddy Hermawan (Mongabay, 8/10/2021), menjelaskan bahwa peristiwa penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut yang terjadi bersamaan, pada 2050 mendatang diprediksi akan membanjiri wilayah di Jakarta hingga seluas hampir 160,4 kilometer persegi (km2) atau mencapai 24,3 persen dari total wilayah DKI Jakarta.
Kondisi ini memperburuk masalah banjir, karena permukaan tanah yang semakin rendah meningkatkan risiko air laut masuk ke daratan (rob) dan mengganggu drainase kota.
Nandhi Sugandhi (2021) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat 6 wilayah di Jakarta Utara yang memiliki tingkat kerentanan banjir rob, yakni Cilincing (364 ha), Kelapa Gading (583 ha), Koja (99 ha), Pademangan (268 ha), Penjaringan (909 ha), Tanjung Priok (153 ha).
Selain itu, intrusi air laut ke dalam akuifer air tawar telah mencemari sumber air tanah, menjadikannya tidak layak dikonsumsi atau digunakan.
Pertumbuhan penduduk Jakarta yang pesat, terutama di wilayah urban, menambah beban pada sumber daya air tanah. Kepadatan penduduk yang tinggi menciptakan kebutuhan air sangat besar, yang sebagian besar dipenuhi melalui eksploitasi air tanah.
Berdasarkan data BPS (2021) diketahui sebaran kepadatan penduduk Jakarta berdasarkan urutan tertinggi, yakni di Jakarta Pusat (20,360 jiwa/Km2), Jakarta Barat (19,608 jiwa/Km2), Jakarta Timur (16,729 jiwa/Km2), Jakarta Selatan (14475 jiwa/Km2), Jakarta Utara (12,749 jiwa/Km2) dan Kepulauan Seribu (2774 jiwa/Km2). Kepadatan penduduk rata-rata Jakarta adalah 15,978 jiwa/Km2.
Tentunya kepadatan penduduk berpengaruh besar terhadap konsumsi air tanah. Pengambilan air tanah secara berlebihan tanpa pengendalian menyebabkan penurunan permukaan air tanah, yang berakibat pada intrusi air laut di beberapa daerah pesisir dan penurunan kualitas air tanah.
Fenomena ini berdampak langsung pada keberlangsungan hidup penduduk yang sangat bergantung pada sumber daya air tersebut.
Eksploitasi air tanah yang berlebihan juga berdampak pada kehidupan sosial dan penduduk Jakarta.
Penurunan kualitas air tanah memaksa penduduk beralih ke air yang dipasok oleh perusahaan air minum, yang seringkali lebih mahal dan sulit diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Masalah banjir akibat penurunan muka tanah juga menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan membahayakan kesehatan masyarakat akibat genangan air yang tercemar. Penurunan muka tanah telah mengakibatkan banyak bencana di pesisir Jakarta, khususnya banjir.
Jika persoalan tersebut tidak segera diantisipasi lebih masif, maka Jakarta berpotensi merugi hingga Rp 10 triliun per tahun.
Hal tersebut disampaikan Menko Perekonomian RI, Airlangga Hartarto (Liputan6.com, 10/1/2024) dalam seminar nasional yang diadakan Universitas Pertahanan, Jakarta.
"Nanti koridor ekonomi Jawa akan terganggu kalau banjir rob. Kerugian akibat banjir mencapai Rp 2,1 triliun per tahun, hanya di Jakarta. Sehingga dalam 10 tahun bisa (meningkat hinga) Rp 10 triliun kerugiannya," ucapnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya