JAKARTA, KOMPAS.com- Sebagai salah satu ekosistem lahan basah, gambut berperan dalam mencegah perubahan iklim hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sekretaris Utama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Ayu Dewi Utari mengatakan, dengan kekhasan ekosistem, flora dan fauna, gambut mempunyai peranan penting dalam menjaga siklus hidrologi, keanekaragaman hayati, lingkungan, dan mitigasi perubahan iklim.
"Gambut mempunyai kapasitas penyimpanan karbon 10 sampai 13 kali dibandingkan ekosistem lain," ujar Ayu dalam diskusi Thought Leaders Forum (TLF) ke-32 bertema “Konservasi dan Restorasi Lahan Gambut Tropis di Indonesia: Solusi Iklim Alami untuk Mitigasi Perubahan Iklim" di Jakarta, Kamis (13/6/2024).
Baca juga: BRGM Klaim Telah Restorasi Gambut 1,8 Juta Hektar Sepanjang 2016-2023
Berdasarkan data Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian tahun 2019, lahan Gambut sebagai salah satu keunggulan sumber daya alam Indonesia memiliki luas total sekitar 13,34 juta hektar.
"Dari data yang ada, lahan gambut di Indonesia luasnya sekitar 13,34 juta hektar. Ini keempat terluas di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika," imbuhnya.
Salah satu peran penting gambut adalah sebagai penyimpan cadangan karbon. Lahan gambut juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai budidaya tanaman dan perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Oleh karena peran penting itu, dalam upaya mencapai Nationally Determined Contribution (NDC), restorasi gambut menjadi salah satu aksi prioritas.
NDC merupakan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri atau 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Dengan luasan lahan gambut tropis di Indonesia mencapai 13,4 juta hektar, diperkirakan mampu menyimpan hingga 57 giga ton karbon atau 55 persen dari total karbon gambut tropis dunia.
Baca juga: Jambi Jadi Referensi Restorasi Lahan Gambut Nasional
"Namun, hampir setengahnya mengalami degradasi fungsi yang diakibatkan oleh pembangunan kanal, penebangan hutan, konversi menjadi lahan pertanian, dan kebakaran," tutur Ayu.
Terdapat tiga strategi restorasi gambut yang dijalankan BRGM. Ketiganya adalah pembasahan ulang (rewetting), penanaman kembali (revegetation), dan peningkatan kesejahteraan (revitalisasi) penghidupan masyarakat.
BRGM mencatat sampai dengan tahun 2023, ada 784 desa yang terbentuk di area gambut terestorasi.
Menurut Ayu, dengan kesejahteraan yang baik, masyarakat akan secara sadar dan suka rela ikut terlibat melindungi lingkungan mereka.
“Karena itu salah satu program yang kita gulirkan adalah Desa Peduli Gambut. Fokusnya untuk mendorong perubahan paradigma tentang restorasi gambut dan membantu desa-desa meningkatkan status desa mereka,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam FOLU Net Sink 2030 yang berkontribusi pada pencapaian NDC, Indonesia
mematok penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di sektor lahan sebesar 17,4 persen atau
mengurangi emisi karbon 140 juta ton setara CO2.
FOLU Net Sink 2030 merujuk pada kontribusi sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya dalam menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan.
Ini termasuk kegiatan seperti reforestasi, aforestasi, konservasi hutan, dan praktik pengelolaan lahan berkelanjutan, yang meningkatkan penyerapan karbon atau mengurangi emisi dari penggunaan lahan seperti pada lahan gambut.
Baca juga: Tingkat Kebakaran Lahan Gambut Menurun, Bisa Tekan Emisi
Peneliti Ahli Madya, Direktorat Kebijakan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya
Alam, dan Ketenaganukliran, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanto Rochmayanto
mengatakan bahwa dalam merestorasi gambut, pendekatan yang diambil tidak bisa hanya
mengandalkan sisi teknis.
Ia menilai, dalam rencana restorasi perlu terlebih dahulu melakukan konsolidasi, terutama terkait kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
“Pertama kita perlu kenali sosial budaya di area yang akan direstorasi, kemudian pilih aktivitas maupun aksi mitigasi yang terkait dengan mereka. Jadi, kegiatan restorasi yang sesuai dengan alam sekaligus sesuai dengan sosial ekonomi masyarakat,” ujar Yanto.
Peneliti sekaligus Manajer Senior Karbon Kehutanan dan Perubahan Iklim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Nisa Novita menambahkan, restorasi gambut perlu upaya kolaboratif berbagai pihak.
Selain itu juga perlu kuantifikasi seberapa besar dampak penurunan emisi dari kegiatan rewetting dan revegetation pada lahan gambut terdegradasi.
“Penelitian kami menemukan bahwa, pembangunan sekat kanal di lokasi yang tepat dan
terawat di lahan perkebunan sawit dapat menurunkan emisi mencapai 30% dibandingkan
dengan bussiness as usual. Hal ini menjadikan restorasi gambut melalui pengelolaan tata air
dapat dijadikan salah satu strategi efektif solusi iklim alami yang berpotensi tinggi dalam
upaya penurunan emisi pada skala nasional,” tutur Nisa.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya