JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyampaikan data terjadinya penurunan kebakaran lahan, terutama di ekosistem gambut.
Sekretaris Utama (Sestama) BRGM Ayu Dewi Utari mengatakan, sebagai ekosistem yang terbentuk dari sampah organik berusia ribuan tahun, lahan gambut pada kondisi alami sebenarnya selalu tergenang air dan sulit terbakar.
Namun, konversi lahan gambut menjadi area perkebunan, HTI, pertanian hingga permukiman, berdampak menjadi gambut kering, yang berakibat dekomposisi lalu menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.
Baca juga: Cegah Kebakaran, Kalbar Optimalkan Pemanfaatan Lahan Gambut
"Tahun 2015 terjadi kebakaran besar dan alhamdulillah sampai dengan saat ini memang kebakaran sudah menurun," ujar Ayu dalam diskusi Thought Leaders Forum (TLF) ke-32 bertema “Konservasi dan Restorasi Lahan Gambut Tropis di Indonesia: Solusi Iklim Alami untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Jakarta, Kamis (13/6/2024).
"Banyak hal yang dilakukan, memang kalau dikatakan sudah 100 persen kesadaran masyarakat, tidak. Tapi perhatian pemerintah terhadap pengelolaan lahan gambut sudah terjadi," imbuhnya.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2015 saat terjadi kebakaran di lahan seluas 2,6 juta hektar, sekitar 34 kasus di antaranya adalah lahan gambut.
Jumlah itu turun menjadi 16 persen dari luas kebakaran pada 2023, yang tercatat mencapai 1,1 juta hektar.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kebakaran di lahan gambut memiliki dampak langsung terhadap perubahan iklim. Sebab, gambut memiliki peran sebagai salah satu ekosistem yang menyimpan karbon.
"Namun, dari total luasan lahan gambut tropis Indonesia, hampir setengahnya mengalami degradasi fungsi yang diakibatkan oleh pembangunan kanal, penebangan hutan, konversi menjadi lahan pertanian, dan kebakaran," tutur Ayu.
Padahal, sebagai salah satu ekosistem lahan basah, peran gambut dalam mencegah krisis alam termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sudah teruji.
"Gambut mempunyai kapasitas penyimpanan karbon 10 sampai 13 kali dibandingkan ekosistem lain," tambah dia.
Baca juga: Walhi: Rentetan Kebakaran TPA di Jateng karena Kurang Mitigasi
Dampak langsung dekomposisi gambut adalah terjadinya emisi GRK akibat turunnya tinggi muka air gambut. Setiap penurunan muka air gambut sekitar 100 sentimeter menyebabkan emisi berkisar antara 95 ton CO2 per hektar per tahun.
Adapun Ayu menyebut pemerintah telah berupaya melakukan restorasi gambut, di antaranya melalui Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi (3R).
Rewetting adalah membangun dan menata sekat kanal pada kanal-kanal yang telah terbangun, demi menjaga kebasahan gambut.
Revegetasi dilakukan untuk menambah tutupan lahan pada area gambut sehingga mengurangi laju evaporasi dan dekomposisi, serta menambah biomassa gambut.
Adapun revitalisasi ekonomi sebagai upaya untuk memberikan alternatif mata pencaharian masyarakat. Sehingga mereka tidak mengelola lahan gambutnya dengan membakar atau bisa meningkatkan hasil pemanfaatan laham gambut dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
"Salah satu upaya revitalisasi lahan gambut yang dilakukan BRGM adalah memperkenalkan budidaya lahan gambut untuk pertanian semusim di desa Taliohulu, Kecamatan Pandih Batu Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya