Berdasarkan pada data deforestasi tahun 2020 tersebut, maka total luas deforestasi eksisting yang ada di Indonesia adalah 33,4 juta hektare ditambah sawit ilegal 3,3 juta hektare dan laju deforestasi tahun 2021 mencapai 110.000 hektare, tahun 2022 sebesar 104.000 hektare, dan 145.000 hektar di 2023 menjadi 37,06 juta hektare.
Dalam beberapa tahun terakhir, KLHK melakukan pembaruan data dan mempublikasikan angka deforestasi per tahun, tentunya dengan definisi deforestasi yang mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70/2017.
Data resmi menunjukkan pada periode 2013-2014, deforestasi turun menjadi 0,4 juta hektare per tahun setelah pada periode sebelumnya berada pada angka 0,73 juta hektare per tahun.
Angka deforestasi naik pada periode 2014-2015 menjadi 1,09 juta hektare per tahun, lalu turun menjadi 0,63 juta hektare per tahun pada 2015-2016 dan turun kembali ke angka 0,48 juta hektare per tahun pada periode 2016-2017.
Dari angka-angka itu, Indonesia bisa menurunkan deforestasi 75,03 persen di periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115.460 hektare. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462.460 hektare.
Data ini dirilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penurunan deforestasi 75,03 persen merupakan angka deforestasi netto. Perhitungan deforestasi ini juga mencakup di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia.
Sesuai perkembangan teknologi, perhitungan luas deforestasi sejak 2011 merupakan hasil perhitungan deforestasi netto yang mempertimbangkan kegiatan reforestasi. Sementara perhitungan pada periode sebelumnya masih menggunakan deforestasi bruto.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia selama ini terjadi lebih dominan di kawasan hutan produksi baik secara legal (perizinan) maupun ilegal (perambahan/pencurian kayu).
Dalam buku “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2018/2020/2022” rata-rata luas kawasan hutan produksi yang telah mengalami deforestasi di atas 69 persen dari total luas kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan (non forested) yang mencapai lebih dari 30 juta hektare.
Secara matematis, hutan produksi yang masih mempunyai potensi kayu sudah sangat menurun luasnya.
Dari luas hutan produksi 68,80 juta hektare, yang telah dibebani hak (dengan perizinan) 34,18 juta hektare, yang tidak berhutan 22-24 juta hektare, sementara yang masih berhutan (hutan primer) sekitar 16 juta hektare.
Meskipun penurunan angka laju deforestasi yang signifikan diklaim oleh Hanif sebagai berbagai macam corrective action melalui kebijakan pengelolaan hutan, tetapi sesungguhnya tidak sepenuhnya benar akibat dari intervensi pemerintah.
Pengawasan terhadap kawasan hutan produksi di daerah oleh aparat kehutanan masih lemah.
Dengan ditariknya beberapa kewenangan kehutanan strategis di tingkat pusat maupun di tingkat provinsi tetap membuka celah yang lebih besar adanya kegiatan deforestasi, baik sifat ilegal maupun legal.
Yang masuk akal dan logis penyebab menurunnya angka laju deforestasi adalah karena aksesibilitas yang sangat rendah bagi hutan alam primer khususnya hutan produksi yang tersisa ditambah dengan kebijakan moratorium hutan alam primer.
Otomatis pemerintah tanpa berbuat apa pun, angka laju deforestasi pasti menurun, karena hutan alam yang tersisa akan sulit dijangkau oleh siapa pun.
Secara ekonomis pun penebangan kayu di hutan alam primer dengan aksesibilitas yang rendah sudah tidak menguntungkan lagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya