DALAM wawancara dengan Detik News, Jumat (21/06/2024), di Manggala Wanabakti, Jakarta, Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Hanif Faisol Nurofiq, menyebut deforestasi turun signifikan.
Bicara dan membahas deforestasi sesungguhnya, kita bicara tiga hal, yakni eksisting deforestasi, laju deforestasi, dan reforestasi. Ketiga hal tersebut saling memengaruhi, tidak dapat dipisahkan.
Barangkali yang dibahas dan dimaksud oleh Dirjen PKTL KLHK tersebut adalah salah satu aspek deforestasi saja, yakni laju deforestasi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2014-2024), yang tidak dapat menggambarkan secara utuh deforestasi di Indonesia.
Meskipun banyak terminologi deforestasi, namun izinkan saya menggunakan terminologi yang mudah dipahami dan dapat kita sepakati bersama.
Secara de jure (hukum), kawasan hutan yang masih utuh, baik hutan alam maupun hutan tanaman terdiri sekumpulan vegetasi pohon-pohon yang menutupi kawasan hutan tersebut, baik hutan campuran maupun hutan monokultur sehingga kawasan hutan tersebut disebut sebagai kawasan hutan yang masih mempunyai tutupan hutan (forested).
Namun faktanya di lapangan (de facto) tidak semua kawasan hutan mempunyai tutupan hutan. Sebagian kawasan hutan tersebut tidak mempunyai tutupan hutan (non forested) dan vegetasi pohon-pohonan/kayu-kayunya sudah tidak ada alias kosong yang dalam terminologi kehutanan disebut telah mengalami deforestasi.
Kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutannya (terdeforestasi) bentuknya berupa lahan-lahan terbuka, semak belukar, dan tanah terlantar.
Untuk kepraktisan, sejak 2018 pengertian deforestasi adalah konversi permanen satu kali dari penutupan lahan hutan alam menjadi kategori penutupan lahan lain.
Istilah ini diperkenalkan dalam dokumen Aliansi Iklim Hutan Indonesia (Indonesia Forest Climate Alliance), dan logika umum dari definisi ini adalah “deforestasi kotor” (gross deforestation).
“Deforestasi bruto” hanya menghitung apa yang telah hilang (penebangan hutan alam) dan tidak mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan kembali hutan (baik secara alami maupun intervensi manusia). Juga tidak mempertimbangkan serapan karbon dari pertumbuhan kembali hutan.
Deforestasi bruto berbeda dengan “deforestasi netto” di mana hutan sekunder yang tumbuh kembali dan penanaman masuk ke dalam perhitungan.
Pemerintah menerapkan pengertian deforestasi bruto dan deforestasi neto. Deforestasi bruto jika angkanya belum dikurangi dengan angka reforestasi alias rehabilitasi atau penanaman hutan kembali.
Sebagai rimbawan dan pengamat kehutanan, saya mencoba mengupas dan menganalis ketiga aspek tersebut, sekaligus hubungan kausalistik di antara ketiganya.
Mengacu pada data yang cukup lengkap dalam buku “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020 yang menyebut bahwa dari luas kawasan hutan di Indonesia 120,3 juta hektare, di antaranya terdapat 33,4 juta hektare yang merupakan kawasan hutan “terdeforestasi”.
Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare merupakan kawasan yang tidak mempunyai tutupan hutan, namun bukanlah lahan menganggur yang dapat dimanfaatkan apa saja, karena masing-masing kawasan lahan hutan tersebut mempunyai fungsi kawasan masing-masing.
Kawasan hutan yang telah terdeforestasi tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, dan hutan produksi seluas 23,3 juta hektare (terdiri dari hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare).
Jadi deforestasi di hutan produksi merupakan kawasan hutan yang terluas dan terbesar yang mengalami deforestasi 69,76 persen, disusul hutan lindung 16,76 persen, paling kecil dan terendah adalah hutan konservasi 13,47 persen. Ditambah dengan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare.
Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya