Rehabilitasi hutan yang merupakan bagian dari program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sejatinya telah dilaksanakan sejak 1976 oleh pemerintah orde baru dengan program penyelamatan hutan, tanah dan air (PHTA) melalui kegiatan Inpres Reboisasi dan Penghijauan.
Kegiatan rehabilitasi hutan (reforestasi) yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, dahulu lebih dikenal dengan naman reboisasi.
Sejak diundangkannya regulasi kehutanan melalui undang-undang (UU) no. 41/1999, program PHTA berubah menjadi program RHL.
Sayangnya, meski kegiatan rehabilitasi hutan telah dilaksanakan selama hampir setengah abad (48 tahun), namun tanda-tanda keberhasilannya masih belum nampak apalagi dirasakan manfaatnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Sampai hari ini, luas reforestasi yang telah dilakukan oleh pemerintah di dalam kawasan hutan telah mencapai jutaan hektare (bila rata-rata kemampuan pemerintah melaksanakan rehabilitasi hutan seluas 150.000 hektare/setahun, maka selama 48 tahun telah tercapai luas penanaman 7,2 juta hektare).
Namun KLHK dalam mengukur kinerja keberhasilan rehabilitasi hutan masih menggunakan paradigam lama, yakni keberhasilan rehabilitasi hutan hanya diukur dari kapitalisasi dengan jumlah luas tanaman hutan yang digunakan untuk rehabilitasi dengan luas total untuk kegiatan setiap tahunnya.
Tidak dijelaskan bagaimana nasib rehabilitasi hutan tahun-tahun sebelumnya. Apakah masuk kategori berhasil, setengah berhasil atau bahkan gagal total.
Padahal, angka keberhasilan reforestasi dapat digunakan untuk mereduksi (mengurangi) angka luas kumulatif deforestasi yang cukup besar.
Angka luas keberhasilan reforestasi baru dapat diperoleh setelah tanaman hutan menjadi pohon dewasa dengan umur miniminal 15 tahun, setelah melalui proses/tahapan sebagai anakan (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles) dan pohon dewasa (trees).
Angka deforestasi netto dapat diperoleh setelah angka deforestasi bruto dikurangi dari angka hasil keberhasilan reforestasi ini.
Jauh sebelumnya pada 2020, Dirjen PKTL, KLHK Sigit Hardwinarto (waktu itu) menyatakan tren deforestasi Indonesia relatif lebih rendah dan cenderung stabil.
Sigit menjelaskan, deforestasi netto tahun 2018-2019, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 462.400 hektare.
Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465.500 hektare dengan dikurangi angka reforestasi hasil pemantauan citra satelit sebesar 3.100 hektare.
Kemudian di atas tahun 2020, telah tercatat keberhasilan reforestasi sebesar 3.200 hektare sehingga total keberhasilan reforestasi yang dicatat oleh KLHK hanya 6.300 hektare saja.
Angka reforestasi yang dimaksud adalah hasil rehabilitasi hutan, namun tidak disebut rehabilitasi hutan tahun berapa dan dimana lokasinya? Atau yang berhasil menjadi hutan kembali hanya seluas itu?
Masyarakat luas perlu tahu untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut, agar pemahaman deforestasi di Indonesia dapat semakin utuh dan tidak dilihat secara parsial.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya