KOMPAS.com - Perempuan dan anak perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak terhadap perubahan iklim.
Dosen senior Victoria University Australia Jessica Shulman mengatakan, krisis iklim tidak bersifat netral, tapi juga memperparah ketidaksetaraan gender yang ada.
Dia menambahkan, perubahan iklim turut menimbulkan ancaman terhadap penghidupan, kesehatan, dan keselamatan perempuan dan anak perempuan.
Baca juga: Walhi Dorong Generasi Muda Layangkan Gugatan Iklim
"Sementara, di seluruh dunia, perempuan lebih bergantung pada laki-laki, namun memiliki akses yang lebih kecil terhadap sumber daya alam," kata Shulman dalam Guest Lecture Series dengan topik krisis gender dan iklim, Rabu (26/6/2024), dikutip dari situs web BRIN.
Di banyak daerah, perempuan memikul tanggung jawab yang tidak proporsional dalam memperoleh pangan, air, dan bahan bakar.
Ketika terjadi kekeringan dan curah hujan yang tidak menentu, perempuan sebagai pekerja terpaksa bekerja lebih keras untuk mengamankan pendapatan dan sumber daya bagi keluarga mereka.
Hal ini memberikan tekanan tambahan pada anak perempuan, yang seringkali harus meninggalkan sekolah untuk membantu ibu mereka mengatasi beban yang semakin meningkat.
Di satu sisi, perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan bahaya hidrometeorologi.
Baca juga: BKKBN: Perubahan Iklim Picu Berbagai Masalah Kehamilan
Ketika suhu berubah, pola hujan menjadi tidak menentu dan cuaca buruk semakin parah. Hal tersebut membuat penghidupan dan ekosistem semakin terkena dampaknya.
Beberapa dampak krisis Iklim adalah banjir, curah hujan ekstrem, naiknya permukaan air laut, dan badai yang lebih hebat.
Negara–negara pulau dan kepulauan kecil menjadi pihak yang paling parah menghadapi ancaman nyata akibat kenaikan permukaan laut dan perubahan iklim.
Banjir dapat memengaruhi ketersediaan air minum bersih, sehingga memperburuk beban pengumpulan dan pengobatan perempuan.
Dampak lainnya adalah kekeringan. Saat ini, 53 dari 191 negara dan wilayah di seluruh dunia, yang merupakan rumah bagi 1,5 miliar perempuan dan anak perempuan atau 37,2 persen dari populasi perempuan di dunia, menghadapi paparan kekeringan yang tinggi atau sangat tinggi.
Baca juga: Ubah Gaya Hidup Bisa Bantu Tangani Perubahan Iklim
Dalam skenario emisi tinggi, proyeksi menunjukkan paparan terhadap fenomena ini dapat berdampak pada tambahan 9 hingga 17 persen populasi dunia pada 2030, juga 50 hingga 90 persen pada tahun 2080.
Meningkatnya kekeringan berkorelasi dengan memburuknya perkawinan anak dan angka kelahiran rendah di banyak negara.
Untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap perempuan dan anak perempuan, Shulman melakukan kajian dalam beberapa skenario.
Dalam skenario jalur iklim terburuk, pada 2050, hampir 160 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia kemungkinan akan jatuh ke dalam kemiskinan sebagai akibat langsung dari perubahan iklim.
Kerawanan pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim juga diperkirakan akan meningkat sebanyak 240 juta lebih banyak perempuan dan anak perempuan, dibandingkan dengan 131 juta lebih banyak laki-laki dan laki-laki.
Baca juga: 80 Persen Penduduk Bumi Ingin Pemerintah Terapkan Kebijakan Iklim Ambisius
Shulman meyakini, investasi dalam program stimulus Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang komprehensif akan membantu mengurangi dampak tersebut.
Sehingga, jika ditangani dengan baik, maka bisa mengurangi jumlah perempuan yang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem dari 158 juta menjadi 43 juta. Namun dampak dari program ini masih lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dapat dicapai.
"Hal itu jika dunia saat ini mampu meredakan perubahan iklim, sebelum menjadi lebih buruk secara eksponensial," jelas Shulman.
Kepala Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laely Nurhidayah mengatakan, hubungan antara gender dan perubahan iklim sangat berpengaruh.
Dampak dari perubahan iklim terhadap gender mencakup berbagai hal yakni aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
"Sumber daya yang terbatas membuat meningkatnya bencana di tingkat Internasional, nasional, dan juga lokal," tutur Laely.
Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Krisis Air, Singapura Rilis Platform Kolaborasi SEAPAW
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya