KOMPAS.com - Kampung ekowisata Malagufuk, Distrik Makbon, di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya tercatat sebagai salah satu tujuan kegiatan pengamatan burung di dunia.
Di Hutan Klaso, beragam jenis burung endemik Papua Barat mencari makan, minum, istirahat, dan berkembang biak.
Di antaranya, Lesser bird-of-paradise, Northern Cassowary, Twelve-wired Bird of Paradise, King Bird of Paradise, Red breasted Paradise Kingfisher, dan Magnificent riflebird.
Periode Agustus-Desember merupakan masa tersibuk Kampung Malagufuk menerima tamu, karena bertepatan dengan musim kawin burung-burung.
Baca juga: BKSDA Bengkulu Gagalkan Pengiriman Ilegal 787 Satwa Liar Burung
Lazimnya, tamu mereka adalah fotografer lingkungan hidup khususnya satwa burung dan fauna hutan hujan, peneliti, dan wisatawan yang mampir dari dan/atau sebelum menyelam di Raja Ampat.
Terdapat komunitas Gelek Kalami Malagufuk dan Gelek Magablo yang menempati kampung ini. Keduanya merupakan komunitas marga di bawah payung besar Suku Moi. Dalam bahasa Moi, marga disebut dengan istilah gelek.
Dalam kesehariannya, mereka merawat tanah, melindungi hutan adat, dan hidup secukupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam.
Salah seorang pemandu pengamatan burung, generasi muda Malagufuk bernama Opyor Kalami, menyampaikan harapannya agar hutan bisa dijaga dengan sebaik mungkin.
“Hutan harus terus dijaga sebaik-baiknya, bahkan setelah generasi saya mati. Prinsip hidup saya, ‘kau jaga hutan, kau jaga alam, maka alam akan jaga kamu nanti’. Dengan teguh pada prinsip ini, saya yakin kita bisa berkembang dan berdiri sendiri dengan keyakinan kita, tanpa banyak dipengaruhi orang luar," ujarnya, dalam pernyataan tertulis, Selasa (2/7/2024).
Adapun pencapaian masyarakat adat di Kampung Malagufuk bukan hasil kerja satu malam. Kegigihan dan kekompakan ketua kampung beserta warganya konsisten dijalani sejak tahun ’90-an.
Mereka menjalin jejaring kerja bersama kelompok-kelompok masyarakat sipil lain, juga organisasi non-pemerintah (NGO) seperti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Dalam upaya untuk hidup lestari selaras dengan alam, Gelek Kalami Malagufuk dan Gelek Malak Kalawilis Pasa menghadapi berbagai tantangan besar.
Beberapa di antaranya, ekspansi pembalakan hutan legal dan ilegal yang gencar, gelombang besar perluasan perkebunan kelapa sawit, serta bisnis ekstraktif di kawasan Papua Barat Daya.
Menurut Laporan Pemantauan Deforestasi Papua Periode Januari-Februari 2024 yang diterbitkan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, pada tahun 2023 luas deforestasi mencapai 25.457 hektar. Jumlah ini lebih besar dibandingkan tahun 2022, seluas 20.780 hektar.
Adapun pada Maret 2024, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya memberi lampu hijau kepada investor pembangunan smelter nikel dan pabrik pembuatan baja di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong.
Baca juga: Berbagai Aktivitas Manusia Sebabkan 1.400 Spesies Burung Punah
"Jika rencana ini direalisasi, Kampung Malagufuk, Hutan Klaso beserta seluruh kekayaan ragam hayatinya terancam hilang," ujar Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante.
Masyarakat adat menyaksikan dan mengalami secara langsung rentetan dampak deforestasi dan ketersingkiran dari hutan tanah adat sebagai ruang hidup mereka.
Mulai dari semakin sulit dan jauhnya mencari sumber makanan, menurunnya kualitas air, kerentanan pengelolaan sagu sebagai sumber pangan utama, hingga potensi kekeringan dan gagal panen.
Rentetan persoalan ini akan berujung pada beragam permasalahan kesehatan, gizi buruk, sosial, dan tentunya persoalan ekonomi.
Saat ini, warga Kampung Malalilis menempati rumah-rumah yang dibangun pemerintah bagi warga yang bekerja dan tinggal di area perkebunan sawit. Keluarga salah satu anggota Gelek Malak, Yeheskiel Malak, menempati rumah di sana.
Ia dan istrinya pernah menjadi buruh perkebunan. Keduanya lantas mengalami PHK. Mereka terkadang ke Malalilis demi mengurus kebun pisang yang mereka kelola di lahan tidur perusahaan.
“Buruh-buruh di sini menyandarkan hidup pada penjual sayur dan penjual ikan keliling. Air pun susah. Untuk kebutuhan air bersih, mereka harus membeli air galon,” ujar Yeheskiel.
Apabila gaji terlambat diterima, para buruh terpaksa mengutang pembelian sayur, ikan, sembako, dan air.
"Di situasi seperti ini, penjual-penjual berkoordinasi dengan pengawas perkebunan, dan meminta agar pembayaran utang langsung dipotong dari gaji si buruh. Kalau sudah begitu, kehidupan buruh akan terus-terusan terlilit utang," terangnya.
Masyarakat Malagufuk berkeyakinan bahwa kemandirian menentukan cara untuk hidup bermartabat di atas tanah adat adalah hal yang semestinya bisa dilakukan juga oleh masyarakat Papua lainnya.
Salah satunya adalah Gelek Malak Kalawilis Pasa; komunitas marga yang mendiami hutan dan tanah adat di wilayah Kampung Sayosa, Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong.
Hampir genap satu tahun Gelek Malak kembali tinggal di tanah dan hutan adatnya. Komunitas marga ini adalah yang pertama memperoleh Surat Keputusan (SK) dari Pemerintah Kabupaten Sorong mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Moi, termasuk di dalamnya hak tanah adat Gelek Malak yang sudah selesai dipetakan.
"Sudah seharusnya negara menghormati pilihan dan corak ekonomi masyarakat adat. Termasuk melindungi sumber daya ekonomi dan wilayah kehidupan yang masyarakat adat miliki, dari berbagai ancaman dan tekanan ekonomi ekstraktif," tutur Franky.
Baca juga: Daftar Lengkap 562 Jenis Burung yang Dilindungi di Indonesia
Kini, Gelek Malak sepenuhnya menyadari mereka tidak bisa selamat sendiri. Mereka ingin gelek lain, setidaknya yang persis berbatasan dengan mereka, untuk sama-sama berkomitmen menjaga tanah adat.
Beberapa di antaranya adalah Gelek Gilik, Klaili, Sayosa, Klasibin, Kalalu, dan Gelek Doo. Masih tersimpan harapan di dada Gelek Malak agar saudara-saudara gelek lain teguh pendirian menghadapi iming-iming investor.
“Tanpa hutan, kita manusia tidak akan bisa hidup. Kita merdeka manfaatkan segala sumber makanan, obat-obatan yang ada di hutan. Jika kami jual tanah, misalnya saya pegang satu miliar, uang bisa habis dalam satu bulan. Tapi kalau punya tanah, kami bisa terus hidup dengan memanfaatkan seperlunya. Kalau kami menggunakannya berlebihan, kami merasa rugi sendiri. Itu yang bedakan kami dengan perusahaan," ujar tetua adat gelek, Korneles Malak.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya