KOMPAS.com - Masyarakat perlu terlibat dan menjadi aktor dalam pengembangan energi terbarukan untuk mewujudkan kemandirian energi di Indonesia.
Akan tetapi, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) kurang mengakomodasi peran masyarakat.
Organisasi yang terdiri atas Koaksi Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Yayasan Indonesia Cerah, Greenpeace Indonesia, Indonesian Parliamentary Center, WWF Indonesia, dan 350.org Indonesia menyebutkan, RUU EBET dan RPP KEN tidak mengadung narasi keadilan dan jaminan hak asasi manusia.
Baca juga: Masukkan Bahan Bakar Fosil, RUU EBET Dinilai Sarat Kepentingan Energi Padat Karbon
Contohnya adalah jaminan akses data dan informasi serta partisipasi masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan.
Plt Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL Syaharani mengatakan, masyarakat perlu difasilitasi untuk menjadi aktor penting dalam penyediaan, pengelolaan, dan pemanfaatan energi terbarukan sebagai bagian dalam mewujudkan kemandirian energi.
Dia menambahkan, dana EBET yang diatur dalam RUU EBET seharusnya dapat diakses masyarakat melalui koperasi atau badan usaha milik desa (BUMDes).
"Mengingat banyak pengembangan energi terbarukan skala lokal oleh masyarakat yang sering kali sulit mendapatkan pembiayaan," tutur Syaharani dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (1/7/2024).
Ketiadaan aspek keadilan juga ditunjukkan oleh tidak adanya pertimbangan terkait dampak sosial dari pengelolaan energi, termasuk energi terbarukan.
Baca juga: Membumikan Efisiensi Energi Sejak Dini
Organisasi masyarakat sipil menilai, RUU EBET dan RPP KEN memberikan kemudahan penyediaan lahan untuk kepentingan energi.
Di satu sisi, kemudahan tersebut berpotensi mendorong perampasan lahan untuk proyek energi.
Pendekatan pengelolaan energi terbarukan dan transisi energi yang cenderung teknokratis justru memperpanjang ketidakadilan yang selama ini telah dialami oleh masyarakat.
Selain itu, RUU EBET dan RPP KEN masih sarat kepentingan yang mendorong energi padat karbon dan berisiko tinggi.
Energi padat karbon yang dimaksud seperti gas, nuklir, hidrogen, dan batu bara.
Baca juga: Bahan Bakar Fosil Sumbang 82 Persen Bauran Energi Global
Verena Puspawardani dari Koaksi Indonesia mengatakan, seharusnya target bauran energi terbarukan dalam RPP KEN perlu merefleksikan urgensi dan komitmen untuk bertransisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
"Apalagi rekomendasi global stocktake menegaskan percepatan pengembangan energi terbarukan hingga tiga kali lipat jika kita ingin selamat dari bencana iklim," kata Verena.
Pemerintah didesan lebih ambisius dalam melakukan transisi energi dengan memberikan penekanan pada energi terbarukan dalam bauran energi nasional.
Ruang-ruang yang masih mengakomodasi kepentingan energi fosil atau energi baru akan mempersulit upaya menciptakan level of playing field yang lebih tinggi bagi energi terbarukan.
Adanya energi fosil atau energi baru juga makin memundurkan pencapaian transisi energi berkeadilan.
Baca juga: Energi Fosil Bikin Program Hilirisasi dan Bebas Emisi Tak Koheren
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya