KOMPAS.com - Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan Indonesia memasuki musim kemarau pada bulan Mei sampai Agustus 2024.
Adapun puncak musim kemarau 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024.
Kepala Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Luki Subehi mengatakan, BMKG mencatat sekurang-kurangnya wilayah Indonesia yang telah memasuki musim kemarau di awal bulan Mei ini sebanyak 8 persen.
"Kondisi ini tentunya akan berdampak pada pusaran air utama di daerah yang berpotensi mengalami kekeringan panjang, terutama daerah yang secara iklim memiliki curah hujan rendah,” tutur Luki dalam Webinar Talk to Scientist (TTS) pada Rabu (17/7/2024).
Baca juga: Pertambangan Nasional Picu Bencana, BNPB Minta Pemda Tertibkan
Sementara itu, Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG, Soenardi, mengatakan wilayah Indonesia terletak di ekuator, sehingga banyak fenomena yang dapat menyebabkan perubahan cuaca di Indonesia. Termasuk monsoon cold surge, La Nina dan El Nino, kemudian ada juga lokal convective yang juga turut mempengaruhi cuaca di Indonesia.
“Jadi memang wilayah Indonesia ini selain ada musim kemaraunya musim hujan dan sepanjang tahun ini bisa menyebabkan potensi-potensi yang dapat menyebabkan kebencanaan,” ujarnya.
Menurut Soenardi, potensi bencana memang mengintai sepanjang tahun, baik itu banjir, longsor, gelombang tinggi, puting beliung di saat musim hujan, maupun kekeringan dan kebakaran hutan pada musim kemarau.
“Jadi memang kita perlu waspada, perlu mengetahui informasi-informasi, kemudian kita juga perlu tahu pola hujan di Indonesia,” lanjut Soenardi, dalam pernyataannya.
Soenardi mengatakan, ada fenomena cuaca ekstrem di musim kemarau yang berpotensi dirasakan.
Di antaranya, angin kencang dan gelombang tinggi dari potensi siklon tropis, potensi kebakaran hutan dan lahan, potensi banjir rob, suhu dingin di dataran tinggi, dan juga puting beliung (small tornado).
Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Rachmat Fajar Lubis mengatakan, penting untuk melihat potensi bencana akibat dari perubahan cuaca saat ini.
BRIN telah mengembangkan beberapa sistem informasi bencana. Antara lain Forest Fires Monitoring untuk kebakaran lahan, Drought Monitoring on Paddy Field untuk banjir, dan Flood Monitoring on Paddy Field untuk kekeringan.
Kemudian, pada tahun 2025–2029, BRIN akan mengembangkan sistem dengan Geoinformatics Multi Input Multi Output Indonesia (GEOMIMO).
“Salah satu yang sangat menarik, teknologi metodologi untuk memitigasi perubahan cuaca yang cepat ini sehingga tidak menjadi bencana, adalah hujan buatan yang dibuat tahun 1978 di Citarum. Ini sukses bisa menurunkan hujan pada saat kemarau sehingga bisa menjadi salah satu solusi,” tutur Rachmat.
Baca juga: Digitalisasi Bantu Desa Atasi Stunting hingga Mitigasi Bencana
Ia menjelaskan, hujan buatan adalah salah satu metode untuk memitigasi perubahan cuaca dengan melakukan modifikasi cuaca. Caranya, memindahkan suatu awan di tempat lain karena memang permasalahannya adalah potensi hujan yang tidak rata.
Adapun beberapa hal untuk memitigasi sumber daya air di antaranya Smart Water Management (SWM), pengembangan smartwater untuk Kesehatan Daerah Aliran Sungai (DAS), pengembangan Decision Support System (DSS) untuk pengendalian kerusakan lahan DAS dan pencemaran sungai, dan melakukan aktivitas penanaman pohon.
“Ini adalah bagaimana mengembalikan air yang kita pakai dalam bentuk konservasi, dengan banyak penanaman pohon dan pembuatan bangunan resapan. Ini semua bisa kita lakukan untuk mengembalikan kesehatan DAS kita sehingga mampu menghadapi perubahan cuaca yang akan terjadi,” terang Rachmat.
Kepala Subdirektorat Keandalan Bangunan Gedung, Direktorat Bina Teknik Permukiman dan Perumahan Ditjen Cipta Karya, Budi Prastowo dalam paparannya mengatakan ada dua langkah mitigasi bencana di bidang infrastruktur, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural.
Mitigasi struktural, kata Budi, terdiri dari perencanaan infrastruktur di daerah rawan bencana, strategi dam mitigasi bencana, standar teknis keandalan bangunan gedung, dan infrastruktur ramah lingkungan.
"Strategi dalam memitigasi bencana ini, kita dengan menggunakan teknologi antara lain bagaimana infrastruktur ini aman dari bencana, kemudian infrastruktur ini ramah lingkungan, jadi salah satunya mengurangi efek gas rumah kaca,” ujar Budi.
Ia berharap, bangunan dapat dibangun dengan bahan-bahan material yang lebih ramah dengan lingkungan, kemudian ada sistem peringatan dini sehingga dapat memitigasi tidak ada korban jiwa pada saat terjadi bencana.
Baca juga: Asia Jadi Benua Terdampak Bencana Iklim Paling Parah Sepanjang 2023
Untuk sistem tata air, kata Budi, di dalam pengaturan sudah ada salah satunya terkait dengan pembuatan polder, retensi pengelolaan air hujan, adanya sumur dan parit atau peresapan, dan juga paving block yang masing-masing memiliki kriteria.
Bangunan andal juga diperlukan untuk memitigasi bencana. Bangunan yang andal adalah bangunan yang memperhitungkan keselamatan, kenyamanan, kesehatan dan kemudahan sesuai dengan standar teknis PP No. 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung serta SNI-SNI yang diatur di dalamnya.
“Selain bangunan andal, di sini juga perlu adanya infrastruktur ramah lingkungan Bangunan Gedung Hijau (BGH) untuk masyarakat maupun kawasan,” pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya