KOMPAS.com - Sebuah studi baru mengungkap polusi udara punya dampak tak terduga bagi manusia: perubahan suasana hati.
Penelitian tersebut memaparkan menghirup udara yang tercemar dapat menyebabkan suasana hati seseorang fluktuatif seiring perubahan polusi udara sehari-hari serta meningkatkan risiko dampak kesehatan mental jangka panjang.
Temuan tersebut berdasarkan pada pengambilan sampel berulang dari 150 orang selama satu tahun.
Seperti dikutip dari Independent, Rabu (21/8/2024) studi ini pun membantu menjelaskan lebih lanjut penelitian sebelumnya yang menghubungkan kecemasan dan depresi yang meningkat dengan paparan polusi udara jangka panjang.
Baca juga: Polusi Udara Bikin Bingung Serangga Penyerbuk Temukan Bunga
Peneliti pun berharap temuan mereka bisa memberikan wawasan mengenai dampak krisis iklim terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia.
"Konstruksi baru ini dapat dimanfaatkan untuk mengintegrasikan pengaruh dan kesehatan mental dengan lebih baik dalam kebijakan rencana dan program adaptasi iklim," tulis peneliti dalam makalah mereka.
Polusi udara bukan hanya ancaman bagi kesehatan mental semata. 135 juta orang telah meninggal dalam empat dekade terakhir akibat polusi udara, ungkap sebuah studi terbaru dari Nanyang Technological University of Singapore.
Hubungan Kesehatan Mental dan Krisis Iklim
Para peneliti iklim sendiri telah menetapkan hubungan antara kesehatan mental dan krisis iklim.
Dua tahun lalu, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan bahwa mereka akan mulai memasukkan dampak iklim terhadap kesehatan mental dalam laporan mereka.
Temuan mereka mengungkapkan bahwa tantangan kesehatan mental dapat dikaitkan dengan trauma akibat cuaca ekstrem dan peristiwa iklim.
Panel tersebut juga mengatakan bahwa suhu tinggi, hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya budaya akibat krisis iklim berdampak negatif pada kesehatan mental.
“Kami juga melihat dampak yang berjenjang dan berlipat ganda, seperti yang kami lihat, misalnya, kebakaran di musim panas di Australia diikuti oleh banjir dan diikuti oleh peristiwa ekstrem lainnya,” kata rekan penulis Kathryn Bowen.
Baca juga: Polusi Udara Tinggi, Sensor Udara Perlu Ditingkatkan
Meningkatnya suhu juga berkontribusi terhadap pemanasan lautan, yang mendorong musim badai yang merusak dan memecahkan rekor di Atlantik. Para peneliti memperkirakan sekitar 23 badai tropis dan badai besar akan terbentuk hingga November 2024.
Juni lalu, Badai Beryl menimbulkan kerusakan besar di Karibia setelah menguat menjadi badai Kategori 5 yang pertama kali tercatat karena suhu laut yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya