KOMPAS.com - Kelompok masyarakat rentan kerapkali terus menanggung derita akibat dampak perubahan iklim maupun aksi untuk menanggulanginya. Padahal, bukan mereka kontributor perubahan iklim terbesar.
Hal ini tertulis dalam dokumen “Rekomendasi untuk Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Berkeadilan” hasil kolaborasi 64 lembaga masyarakat sipil Indonesia, yang dirilis pada Kamis (29/8/2024) di Jakarta.
Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani mengatakan, selama ini belum ada aturan berupa sanksi tegas kepada kontributor penghasil emisi karbon terbesar, seperti industri.
Baca juga: ICSA: Gen Z Tak Mau Lirik Perusahaan yang Tidak Implementasikan ESG
"Kalau teman-teman lihat diskursus apapun, tidak pernah ada pembahasan soal siapa yang wajib kompensasi atau bertanggung jawab," ujar Syaharani saat peluncuran dokumen di Jakarta, Kamis.
Di sisi lain, pemerintah terus menggaungkan transisi menuju energi bersih dan mitigasi perubahan iklim, misalnya melalui hilirisasi nikel dan kendaraan listrik.
Namun, pada prakteknya, transisi itu banyak mengorbankan kelompok rentan seperti masyarakat adat. Misalnya, karena pengerukan tambang besar-besaran atau alih fungsi lahan hutan.
"Bagaimana caranya masyarakat adat dan kelompok rentan bisa mendapatkan manfaat dari transisi energi, kalau hutan dan ruang hidup mereka hilang? Kalau mereka tidak bisa memenuhi kehidupannya lagi?" imbuh dia.
Baca juga: Inggris Atur Penyedia Peringkat ESG di Bawah Otoritas Pengawas Industri Keuangan
Sebagai informasi, dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) tahun 2022, pemerintah telah menyatakan menjunjung tinggi kewajiban untuk menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim.
Sayangnya, hal dasar yang diminta justru abai dipenuhi, yakni pengakuan dan perlindungan wilayah adat beserta seluruh hak yang melekat.
Badan Registrasi Wilayah Adat secara mandiri telah meregistrasi wilayah adat seluas 30,2 juta ha di mana 23,2 juta ha di antaranya adalah hutan adat. Namun, 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo baru mengakui 1,1 persen hutan adat, alias 265.250 hektar saja.
"Meskipun masyarakat adat hanya mencakup 6,2 persen dari populasi global, mereka melindungi 80 persen dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa dan menjaga sepertiga hutan alam yang tersisa di dunia,” ujar Advokasi dan Peneliti Kebijakan Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Ihsan Maulana.
Baca juga: Guru Besar ITB: Implementasi ESG Bisa Hapus Cap Negatif Nikel Indonesia
Sementara, di pesisir, hasil survei yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 2023, menggambarkan bahwa dampak perubahan iklim pada nelayan tradisional cukup signifikan.
Hasil survei menunjukan bawah 72 persen nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan, 83 persen nelayan mengalami penurunan keuntungan, dan 86 persen nelayan mengatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kecelakaan.
“Situasi ini menunjukkan persoalan krusial yang dialami nelayan tradisional akibat perubahan iklim. Pada saat negara mengkampanyekan ikan sebagai sumber pangan bergizi, akan tetapi situasi nelayan tradisional malah semakin memburuk,” kata Ketua Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, badan otonom dari KNTI, Hendra Wiguna.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya