Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang COP29, Dunia Terpecah soal Pendanaan Iklim Negara Berkembang

Kompas.com, 2 September 2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Tiga bulan menjelang KTT Iklim COP29 di Azerbaijan, dunia masih jauh dari kata sepakat untuk pendanaan iklim baru bagi negara-negara berkembang.

Sebuah dokumen perundingan yang diterbitkan oleh badan iklim PBB pada Kamis (28/8/2024) memaparkan adanya perpecahan antara sejumlah negara menjelang pertemuan di Baku bulan depan.

Dokumen tersebut menyarankan tujuh opsi, yang mencerminkan posisi negara-negara yang bersaing, untuk kemungkinan kesepakatan COP29, sebagaimana dilansir Reuters.

Baca juga: Jadi Tuan Rumah KTT Iklim COP29, Azerbaijan Nyatakan Masih Investasi Gas Bumi

Target baru tersebut akan menggantikan komitmen negara-negara kaya saat ini untuk menyediakan 100 miliar dollar AS setiap tahun dalam pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang.

Di sisi lain, negara-negara yang rentan dan berkembang menginginkan tujuan pendanaan yang jauh lebih besar.

Negara-negara donor seperti Kanada dan 27 negara Uni Eropa mengatakan, terbatasnya anggaran nasional membuat target pendanaan yang besar menjadi tidak realistis.

"Kita telah menempuh perjalanan panjang tetapi masih jelas ada posisi yang berbeda yang perlu kita jembatani," kata presiden KTT COP29 mendatang, Mukhtar Babayev.

Baca juga: Greta Thunberg: Kesepakatan COP28 adalah Pengkhianatan

Babayev mengatakan, Azerbaijan selaku presidensi COP29 akan menyelenggarakan negosiasi intensif mengenai tujuan pendanaan menjelang pertemuan puncak COP29 di Baku pada November.

Salah satu opsi dalam dokumen tersebut menetapkan target bagi negara-negara maju untuk menyediakan 441 miliar dollar AS setiap tahun dalam bentuk hibah.

Opsi tersebut dikombinasikan dengan tujuan untuk memobilisasi total pendanaan sebesar 1,1 triliun dollar AS dari semua sumber, termasuk pendanaan swasta, setiap tahun dari 2025 hingga 2029.

Opsi lain menetapkan target pendanaan iklim global lebih dari 1 triliun dollar AS setiap tahun termasuk investasi domestik negara-negara dan pendanaan swasta.

Baca juga: Kesepakatan COP28 Dinilai Kurang Ambisius Cegah Krisis Iklim

Sementara itu, Uni Eropa menuntut agar China, pencemar terbesar di dunia dan ekonomi terbesar kedua, berkontribusi pada tujuan pendanaan iklim yang baru.

Di satu sisi, China digolongkan sebagai negara berkembang oleh PBB berdasarkan sistem yang dikembangkan pada tahun 1990-an yang masih digunakan hingga saat ini.

Beijing menolak gagasan bahwa mereka harus menanggung biaya pendanaan iklim, yang sebagian besar dibayarkan oleh negara-negara kaya kepada negara-negara miskin.

Para negosiator memperkirakan, masalah siapa yang harus membayar akan menjadi salah satu rintangan terbesar untuk menyetujui kesepakatan pendanaan di COP29.

Baca juga: COP28 Berakhir, Ini Janji-janji yang Terjalin Selama KTT

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau