KOMPAS.com - Draf awal dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC Kedua Indonesia sebagai dokumen target iklim dinilai belum ambisius.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, SNDC perlu mengedepankan aspek adil, kredibel, dan transparan dalam penyusunan serta implementasinya.
Fabby menyampaikan, target penurunan emisi yang ambisius tercermin dari keselarasan dengan Perjanjian Paris untuk membatasi suhu global tidak naik 1,5 derajat celsius.
Baca juga: Jelang COP29, Dunia Terpecah soal Pendanaan Iklim Negara Berkembang
Dia mendorong pemerintah Indonesia memperkuat target penurunan emisi 2030 sesuai Perjanjian Paris dan meningkatkan target NDC, terutama di target conditional alias bersyarat dengan bantuan internasional.
Merujuk data Climate Action Tracker (CAT), agar sejalan dengan Perjanjian Paris, Indonesia perlu menetapkan target NDC tanpa syarat sebanyak 817 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030.
Sedangkan untuk NDC bersyarat targetnya 771 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030 dan 647 juta ton setara karbon dioksida pada 2035. Angka tersebut di luar sektor kehutanan dan penggunaan lahan.
Sayangnya, menurut Fabby, salah satu aksi mitigasi pemerintah di sektor energi belum sejalan dengan batas emisi tersebut.
Selain itu aksi mitigasi juga masih enggan berpindah ke energi bersih dan mengandalkan teknologi penggunaan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Baca juga: Pemerintah Didesak Libatkan Publik dan Kelompok Rentan dalam Second NDC
Fabby menambahkan, aksi mitigasi dengan teknologi tersebut kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022.
"Perpres ini mencakup rencana pengakhiran PLTU batu bara dan pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali pada PLTU batu bara untuk industri (captive)," ujar Fabby dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (2/8/2024).
Dia mendesak pemerintah memperjelas aksi mitigasi berbasis teknologi tersebut, khususnya menetapkannya harus sesuai dengan kelayakan dan hanya bisa dilakukan pada PLTU captive.
Dia juga menekankan agar rancangan SNDC memuat elemen rencana pensiun dini PLTU batu bara sesuai dengan peta jalan yang disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Koordinator Proyek Kebijakan Iklim IESR, Delima Ramadhani mengutarakan, rancangan SNDC harus memuat sub-bab transisi adil.
Baca juga: Target Iklim RI dalam NDC Kedua Harus Adil dan Inklusif
IESR memandang hal-hal yang harus masuk dalam sub bab tersebut di antaranya pelibatan masyarakat dalam dialog partisipatif, mengutamakan kesetaraan, dan kejelasan implementasi dalam bentuk ketersediaan jaringan pengaman sosial, dan dukungan bagi pekerja terdampak.
Delima menambahkan, transisi yang adil perlu dimulai dengan mengakui adanya berbagai faktor seperti gender dan usia yang dapat menghalangi suatu kelompok berpartisipasi dengan adil.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya