Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 2 September 2024, 18:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Draf awal dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC Kedua Indonesia sebagai dokumen target iklim dinilai belum ambisius.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, SNDC perlu mengedepankan aspek adil, kredibel, dan transparan dalam penyusunan serta implementasinya.

Fabby menyampaikan, target penurunan emisi yang ambisius tercermin dari keselarasan dengan Perjanjian Paris untuk membatasi suhu global tidak naik 1,5 derajat celsius.

Baca juga: Jelang COP29, Dunia Terpecah soal Pendanaan Iklim Negara Berkembang

Dia mendorong pemerintah Indonesia memperkuat target penurunan emisi 2030 sesuai Perjanjian Paris dan meningkatkan target NDC, terutama di target conditional alias bersyarat dengan bantuan internasional.

Merujuk data Climate Action Tracker (CAT), agar sejalan dengan Perjanjian Paris, Indonesia perlu menetapkan target NDC tanpa syarat sebanyak 817 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030.

Sedangkan untuk NDC bersyarat targetnya 771 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030 dan 647 juta ton setara karbon dioksida pada 2035. Angka tersebut di luar sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Sayangnya, menurut Fabby, salah satu aksi mitigasi pemerintah di sektor energi belum sejalan dengan batas emisi tersebut.

Selain itu aksi mitigasi juga masih enggan berpindah ke energi bersih dan mengandalkan teknologi penggunaan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Baca juga: Pemerintah Didesak Libatkan Publik dan Kelompok Rentan dalam Second NDC

Fabby menambahkan, aksi mitigasi dengan teknologi tersebut kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022.

"Perpres ini mencakup rencana pengakhiran PLTU batu bara dan pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali pada PLTU batu bara untuk industri (captive)," ujar Fabby dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (2/8/2024).

Dia mendesak pemerintah memperjelas aksi mitigasi berbasis teknologi tersebut, khususnya menetapkannya harus sesuai dengan kelayakan dan hanya bisa dilakukan pada PLTU captive.

Dia juga menekankan agar rancangan SNDC memuat elemen rencana pensiun dini PLTU batu bara sesuai dengan peta jalan yang disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Koordinator Proyek Kebijakan Iklim IESR, Delima Ramadhani mengutarakan, rancangan SNDC harus memuat sub-bab transisi adil.

Baca juga: Target Iklim RI dalam NDC Kedua Harus Adil dan Inklusif

IESR memandang hal-hal yang harus masuk dalam sub bab tersebut di antaranya pelibatan masyarakat dalam dialog partisipatif, mengutamakan kesetaraan, dan kejelasan implementasi dalam bentuk ketersediaan jaringan pengaman sosial, dan dukungan bagi pekerja terdampak.

Delima menambahkan, transisi yang adil perlu dimulai dengan mengakui adanya berbagai faktor seperti gender dan usia yang dapat menghalangi suatu kelompok berpartisipasi dengan adil.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Kukang dan Trenggiling Dilepasliar ke Hutan Batang Hari Jambi
Kukang dan Trenggiling Dilepasliar ke Hutan Batang Hari Jambi
Pemerintah
Cerita Usaha Kerupuk Sirip Ikan Tuna di Bali, Terhambat Cuaca Tak Tentu
Cerita Usaha Kerupuk Sirip Ikan Tuna di Bali, Terhambat Cuaca Tak Tentu
LSM/Figur
Survei HSBC: 95 Persen CEO Anggap Transisi Iklim Peluang Pertumbuhan Bisnis
Survei HSBC: 95 Persen CEO Anggap Transisi Iklim Peluang Pertumbuhan Bisnis
Pemerintah
Ketika Lingkungan Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Ketika Lingkungan Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Pemerintah
Suhu Harian Makin Tidak Stabil, Ini Dampaknya untuk Kesehatan
Suhu Harian Makin Tidak Stabil, Ini Dampaknya untuk Kesehatan
LSM/Figur
Melawan Korupsi Transisi Energi
Melawan Korupsi Transisi Energi
Pemerintah
KLH Sebut Banjir Sumatera Jadi Bukti Dampak Perubahan Iklim
KLH Sebut Banjir Sumatera Jadi Bukti Dampak Perubahan Iklim
Pemerintah
Terumbu Karang Terancam Dikuasai Alga Tahun 2100 akibat Pengasaman Laut
Terumbu Karang Terancam Dikuasai Alga Tahun 2100 akibat Pengasaman Laut
LSM/Figur
Tekan Emisi, Anak Usaha TAPG Olah Limbah Cair Sawit Jadi Listrik dan Pupuk Organik
Tekan Emisi, Anak Usaha TAPG Olah Limbah Cair Sawit Jadi Listrik dan Pupuk Organik
Swasta
Cegah Greenwashing, OJK Perketat Standar Pengkungkapan Keberlanjutan Perusahaan
Cegah Greenwashing, OJK Perketat Standar Pengkungkapan Keberlanjutan Perusahaan
Pemerintah
Menteri LH Hentikan Operasional Tambang Imbas Banjir Sumatera Barat
Menteri LH Hentikan Operasional Tambang Imbas Banjir Sumatera Barat
Pemerintah
Banjir Sumatera dan Ancaman Sunyi bagi Perempuan, Belajar dari Pengalaman dalam Bencana Likuefaksi di Sulawesi
Banjir Sumatera dan Ancaman Sunyi bagi Perempuan, Belajar dari Pengalaman dalam Bencana Likuefaksi di Sulawesi
LSM/Figur
Warga Bantu Warga, JNE Percepat Distribusi 500 Ton Bantuan ke Sumatera
Warga Bantu Warga, JNE Percepat Distribusi 500 Ton Bantuan ke Sumatera
Swasta
Pasar Software Akuntansi Karbon Diprediksi Meroket sampai 2033
Pasar Software Akuntansi Karbon Diprediksi Meroket sampai 2033
LSM/Figur
Kemenhut Segel Lagi 3 Entitas di Tapanuli Selatan, Diduga Picu Banjir Sumatera
Kemenhut Segel Lagi 3 Entitas di Tapanuli Selatan, Diduga Picu Banjir Sumatera
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau