"Artinya, sekitar 5.720,31 hektar terumbu karang mati. Tak hanya itu, selama 20 tahun terakhir, seluas 240.467,98 hektar mangrove di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan," ujar Direktur WALHI Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz.
Baca juga: Hadapi Perubahan Iklim, Kota di Pesisir Harus Beradaptasi Lebih Cepat
Adapun di Lampung, pertambangan pasir laut akan mengancam ekonomi kelautan yang dihasilkan dari penangkapan dan pengolahan rajungan.
"Padahal, Lampung adalah provinsi penghasil kepiting rajungan terbesar ketiga di Indonesia, yang berkontribusi sekitar 10 - 12 persen dari ekspor Indonesia," ujar Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Lampung, Edi Santoso.
Sedangkan di Lombok Timur, NTB, meski pertambangan pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa telah dihentikan, tetapi dampaknya sangat panjang. Nelayan harus melaut ke perairan Sumba dan harus bertaruh nyawa karena harus berlama-lama di tengah laut lepas.
Beberapa kasus lain juga turut disampaikan oleh WALHI Sulawesi Selatan, WALHI Jawa Timur, WALHI Bali, WALHI Maluku Utara, hingga perempuan nelayan Surabaya, yang terhimpun dalam Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) yang terdampak tambang pasir laut.
Baca juga: Manfaat Ekosistem Mangrove bagi Ekonomi Masyarakat Pesisir
Oleh karena itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional, Parid Ridwanuddin menegaskan, perlu adanya regulasi yang meninjau kembali atau mencabut pembukaan ekspor pasir laut dan penambangan lainnya.
"Kami sedang menyusun petisi dan permohonan, meminta Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk me-review, melihat ulang dan meninjau kembali kebijakan PP 26 tahun 2023 dan Permendag tentang ekspor pasir laut ini," pungkasnya.
siaran ulang https://www.youtube.com/watch?v=hgpOyEvk0qs
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya