KOMPAS.com - Ilmuwan iklim dalam sebuah studi barunya mengungkapkan bumi dapat mengalami peristiwa El Nino ekstrem yang lebih sering terjadi pada tahun 2050 jika emisi gas rumah kaca terus meningkat.
Pola iklim yang dikenal sebagai El Nino ini menjadi penyebab utama panas, banjir, dan kekeringan.
"Sangat menakutkan bahwa 2050 sudah dekat. Jika peristiwa ekstrem ini menjadi lebih sering terjadi, masyarakat mungkin tidak memiliki cukup waktu untuk pulih, membangun kembali, dan beradaptasi sebelum El Nino berikutnya melanda. Konsekuensinya akan sangat dahsyat," ungkap Pedro DiNezio, salah satu penulis utama studi dari University of Colorado Boulder.
Baca juga: Periode Kekeringan di Masa Depan Akan Lebih Lama dari yang Diperkirakan
Ketika area tersebut menghangat hingga 3,6°F (-16 derajat Celsius) di atas rata-rata, para ilmuwan mengklasifikasikan peristiwa El Nino sebagai ekstrem.
Sejak Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS mulai mengumpulkan data pada tahun 1950-an, lembaga tersebut telah mencatat tiga hingga empat peristiwa El Niño ekstrem.
Selama El Nino ekstrem, dampak pada cuaca global cenderung lebih parah. Misalnya, selama musim dingin tahun 1997-98, El Niño membawa curah hujan yang memecahkan rekor di California, yang menyebabkan tanah longsor dahsyat.
Selama periode yang sama, planet ini kehilangan sekitar 15 persen terumbu karangnya akibat pemanasan yang berkepanjangan.
“Peristiwa El Niño sulit disimulasikan dan diprediksi karena ada banyak mekanisme yang mendorongnya. Hal ini telah menghambat kemampuan kita untuk menghasilkan prediksi yang akurat dan membantu masyarakat bersiap serta mengurangi potensi kerusakan,” tulis peneliti dalam studinya.
Baca juga: Air, Kekeringan, dan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perubahan iklim intensif dan meningkatkan frekuensi peristiwa cuaca ekstrem, mungkin terkait dengan perubahan pola El Niño. Namun, karena keterbatasan data, para ilmuwan belum dapat memastikan apakah El Niño akan menguat seiring pemanasan.
Untuk mengetahuinya, peneliti mulai menyimulasikan peristiwa El Niño dalam 21.000 tahun terakhir menggunakan model komputer.
Hasilnya, model tersebut memprediksi bahwa jika masyarakat terus memompa gas rumah kaca ke atmosfer pada tingkat saat ini, satu dari dua kejadian El Niño bisa menjadi ekstrem pada tahun 2050.
Penelitian DiNezio menunjukkan bahwa saat atmosfer menghangat dengan cepat akibat emisi gas rumah kaca, planet mengalami umpan balik Bjerknes yang lebih kuat, yang menyebabkan kejadian El Niño ekstrem yang lebih sering terjadi.
Baca juga: Gelombang Panas dan Kekeringan Sebabkan Kerugian Miliaran Dollar AS dalam Setahun
Umpan balik Bjerknes merupakan kondisi di mana angin yang melemah selama El Nino memungkinkan air hangat mengalir ke timur dan air yang lebih hangat makin melemahkan angin.
Dengan El Nino terkini yang telah berlalu, peneliti menekankan masyarakat perlu fokus mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak peristiwa El Nino ekstrem di masa mendatang.
Itu termasuk mengurangi emisi dan membantu masyarakat, terutama di negara-negara berkembang menjadi tangguh menghadapi cuaca ekstrem.
“Kami kini memahami bagaimana peristiwa ekstrem ini terjadi, dan kami hanya perlu kemauan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil,” ungkap DiNezio.
Temuan yang dipublikasikan 25 September di jurnal Nature ini pun menekankan untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius guna menghindari dampak iklim yang dahsyat.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya