Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KLHK: Keanekaragaman Hayati Hadapi Ancaman Kepunahan Serius

Kompas.com - 02/10/2024, 20:21 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keanekaragaman hayati di dunia menghadapi ancaman kepunahan cukup serius. Salah satu indikatornya adalah angka kelimpahan spesies vertebrata (hewan dengan tulang belakang) menurun hingga 58 persen sepanjang tahun 2017-2022.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Satyawan Pudyatmoko menuturkan indikator lainnya adalah penurunan jumlah spesies ikan dan organisme air tawar lainnya.

Penurunan spesies tersebut tercatat cukup signifikan yakni hingga 81 persen sepanjang tahun 1970-2020.

Baca juga: Polusi Tanah Jadi Ancaman Keanekaragaman Hayati

"Kepunahan sekarang, dibandingkan dengan kepunahan alami, tingkatannya telah mencapai seribu kali lipat, makanya disebut krisis," ujar Satyawan dalam sesi diskusi Youth Conservation Fest 2024 di Jakarta, Selasa (1/10/2024). 

 Tak hanya itu, kata Satyawan, Indonesia juga pernah mengalami kepunahan spesies ikonik, seperti harimau jawa dan harimau bali yang telah lama punah bahkan sebelum banyak manusia lahir.

Perlu tingkatkan konservasi

Seiring dengan semakin banyaknya spesies yang terancam punah, ia menilai strategi konservasi menjadi sangat penting. Ia menyebut salah satu tujuan utama dari strategi konservasi Indonesia dan dunia adalah untuk menurunkan laju kepunahan spesies.

"Indikator keberhasilan konservasi yang pertama adalah penurunan laju kepunahan, yang saat ini menjadi fokus utama," ungkap dia. 

Indikator kedua dalam strategi ini adalah menjaga keutuhan keanekaragaman hayati fungsional atau functional biodiversity

Baca juga: Pemerintah Luncurkan Dokumen IBSAP, Panduan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati mencerminkan keutuhan ekosistem, yaitu bagaimana ekosistem tetap utuh dengan kondisi aslinya. Menurutnya, hal tersebut penting dilakukan, karena selama ini manusia telah mengubah banyak ekosistem asli menjadi ekosistem buatan.

Misalnya, hutan yang dulu menjadi rumah bagi beragam spesies kini telah beralih menjadi lahan sawah, kota, hingga perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini, meskipun memberikan manfaat ekonomi, harus dibatasi.

"Tidak boleh kita mengubah terlalu banyak ekosistem yang kita tempati, karena nanti akan ada konsekuensi-konsekuensi besar," tegas Satyawan. 

Oleh karena itu, ia menyebut bahwa situasi ini menuntut tindakan segera dan komitmen kuat dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pelaku industri.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau