Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polusi Tanah Jadi Ancaman Keanekaragaman Hayati

Kompas.com - 09/09/2024, 17:49 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Penelitian baru menemukan bahwa polusi tanah menjadi penyebab utama penurunan keanekaragaman hayati organisme yang hidup di bawah tanah. Temuan ini mengejutkan para ilmuwan dan menyebutnya sebagai hal yang memprihatinkan.

Seperti dikutip dari Phys, Senin (9/9/2024), dibandingkan dengan kehidupan di atas tanah, apa yang hidup di tanah relatif tidak diketahui.

Ini karena selain kesulitan menemukan organisme yang hidup di sana, tanah sebenarnya terdiri dari beberapa habitat yang semuanya berada di atas satu sama lain.

Sebagian besar kehidupan ditemukan dalam jarak 10 sentimeter dari permukaan tetapi ada juga organisme yang hidup jauh lebih dalam sehingga kita sedikit tahu mengenai kehidupan di bawah tanah.

Hal tersebut juga yang akhirnya keanekaragaman hayati di bawah tanah tak banyak diketahui.

Baca juga: Pakar: Spesies Asing Invasif Jadi Ancaman Bagi Keanekaragaman Hayati

"Tanah bukan hanya gumpalan homogen. Tanah adalah lingkungan kompleks yang mengandung banyak struktur, nutrisi, dan mineral yang berbeda," kata Victoria Burton, salah satu peneliti dalam studi ini.

Untuk mencoba mengetahui bagaimana dampak polusi bagi kehidupan bawah tanah, peneliti pun melakukan meta analisis dengan mengambil data dari banyak penelitian dan mempelajarinya kembali untuk menjawab permasalahan penelitian baru.

Dalam meta-analisis ini, Victoria dan seluruh timnya menggunakan kembali data dari lebih dari 600 penelitian, termasuk ribuan titik data yang berbeda, untuk melihat dampak manusia terhadap kesehatan tanah secara global.

Baca juga: KLHK Cegah Peneliti Asing Ambil Keanekaragaman Hayati RI

Dampak Polusi Tanah

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan tanah menyediakan penyangga yang membantu organisme di dalamnya menjadi lebih tangguh terhadap perubahan tertentu.

"Tanah dapat menyimpan kelembapan dan nutrisi, yang dapat membantu kehidupan yang hidup di bawah tanah untuk menahan perubahan, setidaknya dalam jangka pendek," jelas Victoria.

Tetapi peneliti juga menemukan bahwa polusi tanah seperti pestisida dan logam berat menyebabkan kerusakan paling parah pada keanekaragaman hayati tanah.

Baca juga: Keanekaragaman Hayati Bakal Bertambah, Banyak Lokasi Belum Dieksplorasi

"Ini mengkhawatirkan, karena belum banyak penelitian tentang dampak polusi tanah, jadi dampaknya mungkin lebih luas daripada yang kita ketahui," ungkap Victoria.

"Di tengah kekhawatiran atas degradasi tanah, kita juga perlu menyelidiki dampak sumber polusi lain, seperti mikroplastik, hidrokarbon, dan bahan kimia persisten, terhadap kehidupan di bawah kaki kita," paparnya lagi

Meskipun sebagian besar perubahan, seperti meningkatnya suhu atau polusi kimia bisa berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati tanah, ada beberapa hal positif.

Peneliti mencatat penggunaan pupuk organik dan mulsa, yang memasukkan lebih banyak karbon ke dalam tanah sangat bermanfaat bagi cacing tanah, yang memakan nutrisi dan mendaur ulangnya di dalam tanah.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

IESR: Transisi Energi Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

IESR: Transisi Energi Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

LSM/Figur
Ekonomi Restoratif Dinilai Paling Tepat untuk Indonesia, Mengapa?

Ekonomi Restoratif Dinilai Paling Tepat untuk Indonesia, Mengapa?

LSM/Figur
Populasi Satwa Liar Global Turun Rata-rata 73 Persen dalam 50 Tahun

Populasi Satwa Liar Global Turun Rata-rata 73 Persen dalam 50 Tahun

LSM/Figur
Logam Berat di Lautan Jadi Lebih Beracun akibat Perubahan Iklim

Logam Berat di Lautan Jadi Lebih Beracun akibat Perubahan Iklim

Pemerintah
Tak Hanya Tekan Abrasi, Mangrove juga Turut Dorong Perputaran Ekonomi Masyarakat

Tak Hanya Tekan Abrasi, Mangrove juga Turut Dorong Perputaran Ekonomi Masyarakat

LSM/Figur
Konsumsi Daging Berkontribusi terhadap Kerusakan Lingkungan, Kok Bisa?

Konsumsi Daging Berkontribusi terhadap Kerusakan Lingkungan, Kok Bisa?

Pemerintah
Selenggarakan CSR Berkelanjutan, PT GNI Dapat Penghargaan di PKM CSR Award 2024

Selenggarakan CSR Berkelanjutan, PT GNI Dapat Penghargaan di PKM CSR Award 2024

Swasta
Kisah Warga Desa Mayangan yang Terancam Abrasi dan Inisiatif Kompas.com Tanam Mangrove

Kisah Warga Desa Mayangan yang Terancam Abrasi dan Inisiatif Kompas.com Tanam Mangrove

LSM/Figur
Langkah Hijau Kompas.com, Penanaman Mangrove untuk Selamatkan Pesisir Subang

Langkah Hijau Kompas.com, Penanaman Mangrove untuk Selamatkan Pesisir Subang

Swasta
Konsumen Bingung dengan Klaim Keberlanjutan pada Kemasan Produk

Konsumen Bingung dengan Klaim Keberlanjutan pada Kemasan Produk

Pemerintah
Pemanasan Global Picu Siklon dan Hujan Badai di Seluruh Asia

Pemanasan Global Picu Siklon dan Hujan Badai di Seluruh Asia

Pemerintah
Bank Tetap Biayai Investasi Batu Bara meski Ada Target Iklim

Bank Tetap Biayai Investasi Batu Bara meski Ada Target Iklim

Pemerintah
IEEFA Sebut 'Power Wheeling' Bisa Dorong Investasi Hijau

IEEFA Sebut "Power Wheeling" Bisa Dorong Investasi Hijau

LSM/Figur
Penerapan Karbon Dioksida Tak Lagi Berguna Jika Suhu Bumi Lampaui Batas

Penerapan Karbon Dioksida Tak Lagi Berguna Jika Suhu Bumi Lampaui Batas

Pemerintah
Dosen UI Teliti Limbah Plastik Jadi Penangkap Karbon Dioksida

Dosen UI Teliti Limbah Plastik Jadi Penangkap Karbon Dioksida

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau