KOMPAS.com - Laporan baru berjudul "Urban Pulse: Identifying Resilience Solutions at the Intersection of Climate, Health, and Equity," mengungkapkan kota-kota di dunia tak siap menghadapi dampak perubahan iklim.
Laporan yang dibuat oleh Yale School of Public Health (YSPH), Resilient Cities Network, dan The Rockefeller Foundation ini berdasarkan pada survei terhadap hampir 200 pemimpin kota di 118 kota dan 52 negara tentang kesiapan mereka menghadapi ancaman terkait iklim.
Peneliti memaparkan setengah populasi dunia tinggal di kota. Proporsi tersebut diperkirakan akan terus meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2050.
Dengan populasi yang besar, kurangnya ruang hijau untuk mendinginkan lingkungan yang memanas, serta infrastruktur menua yang rentan terhadap banjir dan cuaca ekstrem lainnya, banyak kota di dunia yang tidak siap menghadapi perubahan iklim.
Baca juga: Kota Butuh Ruang Terbuka Hijau, Ini 3 Alasannya
Peneliti pun menyebut perlu tindakan proaktif untuk membuat kota lebih tangguh terhadap perubahan iklim dan mampu melindungi kesehatan masyarakat.
Mengutip Phys, Rabu (10/2/2024) kurang dari setengah kota melaporkan memiliki rencana ketahanan iklim, dan hanya satu dari empat yang menyatakan rencana yang membahas iklim dan kesehatan.
Laporan ini pun menyoroti perlunya pemimpin kota untuk mengenali dampak perubahan iklim terhadap kesehatan penduduk termasuk kesehatan mental.
Pasalnya, respons yang berpusat pada kesehatan terhadap perubahan iklim di kota-kota ini menurut Jeannette Ickovics, penulis utama laporan sangat penting bagi kesehatan global.
Menurut laporan, kota-kota seperti Rio de Janeiro di Brasil dan Ho Chi Minh di Vietnam kemungkinan akan mengalami wabah demam berdarah karena populasi nyamuk yang lebih besar.
Sementara kota-kota pesisir seperti Miami dan Dubai kemungkinan akan menghadapi banjir yang lebih sering dan parah akibat naiknya permukaan air laut.
Baca juga: Penutupan PLTU Terakhir Inggris Tonggak Penting Ambisi Iklim
"Kota-kota sangat menyadari bahwa perubahan iklim menimbulkan risiko kesehatan yang serius, yang secara tidak proporsional memengaruhi populasi yang menghadapi kerentanan," kata Lauren Sorkin, direktur eksekutif Resilient Cities Network.
Berdasarkan data survei dan wawancara dengan para pemimpin kota di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, peneliti pun menyusun rekomendasi sebagai panduan untuk membuat kota lebih tangguh terhadap iklim.
Rekomendasi itu termasuk mengidentifikasi pemicu iklim yang menimbulkan ancaman terbesar bagi populasi rentan, melaksanakan program adaptasi berbasis data dan berfokus pada komunitas seperti inisiatif penghijauan serta dukungan kesehatan berbasis populasi untuk mengatasi kesehatan, iklim, dan kesetaraan.
Selain itu juga peneliti merekomendasikan untuk berinvestasi dalam energi hijau dan sistem hemat energi lainnya yang berkontribusi pada ekonomi nol karbon.
Baca juga: Den Haag Jadi Kota Pertama di Dunia yang Larang Iklan Energi Fosil
Peneliti juga menyebut perlu untuk menetapkan dan memperkuat mekanisme peringatan dini untuk bencana terkait iklim seperti badai, gelombang panas, dan banjir.
Terakhir, membina kolaborasi antarkota untuk berbagi praktik dalam memerangi ancaman iklim.
"Kita harus memanfaatkan penelitian ini untuk bersatu dalam visi ketahanan perkotaan, memanfaatkan kebijaksanaan dan kekuatan kolektif kita untuk membangun lingkungan perkotaan yang lebih sehat, lebih adil, dan berkelanjutan bagi semua," kata Ickovics.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya