Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Energi Terbarukan Perlu Jadi Prioritas DPR Periode Baru 2024-2029

Kompas.com, 17 Oktober 2024, 19:13 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil, termasuk Indonesian Parliamentary Center (IPC), mendesak DPR periode 2024-2029 yang baru dilantik untuk memprioritaskan isu energi terbarukan.

Desakan ini muncul menyusul penilaian bahwa DPR periode 2019-2024, khususnya Komisi VII yang membidangi sektor energi dan lingkungan hidup, lebih memberikan dukungan pada energi fosil dibandingkan dengan energi terbarukan.

"Padahal, dukungan legislasi yang kuat dan konsisten menjadi kunci untuk memastikan transisi energi di Indonesia berjalan optimal," ujar Peneliti IPC, Johan Mahesa, dalam pernyataannya pada Kamis (17/10/2024).

Baca juga:

Laporan IPC berjudul “Komisi VII DPR RI dan Transisi Energi: Antara Komitmen dan Realita” menunjukkan bahwa isu minyak dan gas (migas) serta mineral dan batubara (minerba) mendominasi lebih dari 50 persen topik pembahasan dalam rapat-rapat Komisi VII DPR.

Sementara itu, diskusi mengenai transisi energi hanya tercatat 10 persen.

Johan menjelaskan bahwa kementerian dan perusahaan yang bergerak di sektor migas dan minerba lebih sering menjadi mitra rapat, yang berdampak pada keputusan dan arah kebijakan yang diambil oleh Komisi VII.

"Dari 159 perusahaan yang diundang rapat, 37 persen di antaranya berasal dari sektor minerba dan 15 persen dari sektor migas, menunjukkan kekuatan berlebih dari eksekutif dan pengusaha dalam proses pengambilan keputusan," imbuh Johan.

Ia menilai kurangnya keberpihakan Komisi VII DPR terhadap transisi energi berujung pada tidak disahkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

RUU ini seharusnya menjadi salah satu prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024.

RUU Energi Terbarukan

Johan juga menjelaskan bahwa pembahasan terkait rancangan beleid ini cenderung fokus pada energi baru sebagai opsi transisi energi, yang masih mengakomodasi penggunaan energi fosil, seperti batu bara tergaskan dan batu bara tercairkan, serta nuklir.

Hingga saat ini, belum ada regulasi tingkat undang-undang yang mengatur tentang transisi energi atau energi terbarukan, kecuali UU No 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi.

DPR RI periode baru, khususnya komisi yang membidangi energi, seharusnya menjadikan RUU EBET sebagai prioritas demi mempercepat transisi energi dan menghadapi tantangan krisis iklim.

"Komisi yang membidangi energi seharusnya mengalokasikan lebih banyak waktu dan sumber daya untuk membahas isu-isu terkait transisi energi, menargetkan minimal 40 persen dari total rapat untuk topik ini guna mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan," papar Johan.

Namun, DPR periode 2024-2029 diingatkan agar tidak terburu-buru mengesahkan berbagai beleid yang drafnya telah disusun, seperti RUU EBET dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN).

Baca juga:

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syahrani, mengungkapkan bahwa RUU EBET dan RPP KEN tidak menjawab tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

"Selain sarat kepentingan energi fosil, rancangan beleid tersebut tidak menetapkan target energi terbarukan yang ambisius. Klausul dalam RUU EBET dan RPP KEN juga tidak mendorong keekonomian proyek energi terbarukan. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan mengurangi subsidi batu bara. Oleh karena itu, DPR periode baru perlu memperbaiki draf RUU EBET dan mencabut persetujuan RPP KEN," kata Syahrani.

Koalisi masyarakat sipil juga berharap agar rapat-rapat DPR, khususnya di bidang energi dan lingkungan, lebih transparan.

"Kami berharap DPR periode baru bisa lebih terbuka dalam pembahasan kebijakan energi ke depannya, serta secara proaktif melibatkan masyarakat sipil dalam penyusunannya," pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
LSM/Figur
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
LSM/Figur
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
LSM/Figur
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Pemerintah
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
LSM/Figur
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
LSM/Figur
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau