Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Adat Desak Pemerintah Hentikan Proyek “Food Estate” Merauke

Kompas.com, 17 Oktober 2024, 16:34 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah kelompok masyarakat adat Papua Selatan, Solidaritas Merauke, bersama Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah menghentikan proyek strategis nasional (PSN) Food Estate Merauke di Papua Selatan.

Pembangunan Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Papua Selatan tersebut dinilai melanggar peraturan terkait hak hidup masyarakat adat hingga lingkungan.

Aktivis LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, mengatakan bahwa kebijakan dan pelaksanaan proyek food estate PSN Merauke tidak memiliki informasi yang jelas dan cenderung tertutup.

Baca juga: Anggaran Ketahanan Pangan Rp 124,4 Triliun, untuk Food Estate hingga Cetak Sawah 

Ia menilai, hal tersebut tidak menghormati otoritas dan norma adat, karena tanpa kajian sosial dan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. 

“Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan," tutur Teddy dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (16/10/2024). 

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, menegaskan bahwa penggusuran, penghancuran dan penghilangan hutan, dusun, rawa dan lahan gambut dalam skala luas akan meningkatkan krisis lingkungan. 

Ia menjelaskan, areal cetak sawah baru sejuta hektar dan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB).

"Areal GPA Group lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektar berada di PIPIB, karenanya proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi," papar Franky.

Baca juga: Dukung Program Food Estate Budi Daya Jagung, Bupati Keerom Terima Penghargaan dari Kapolri

"Selain itu, izin perusahaan GPA sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektar dan beresiko secara sosial ekonomi dan budaya," ia menambahkan. 

Informasi tertutup

Teddy menjelaskan, LBH telah mendampingi masyarakat untuk dapat bertemu dan menyampaikan suara kepada beberapa pihak terkait seperti pemerintah daerah.

Namun, proses pembangunan PSN di Merauke dirasakan sangat tertutup kepada masyarakat asli Merauke. Masyarakat tidak bisa mendapatkan informasi dan respons yang jelas terkait pembangunan PSN.

"Kita lakukan pendampingan ke bupati, masyarakat tidak mendapatkan informasi apa-apa, semua ini tertutup," ungkap Teddy.

Baca juga: Pemerintah Perlu Dorong Bahan Lokal untuk Ketahanan Pangan

Sebagai informasi, Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan, dipromosikan dan dicanangkan seluas lebih dari 2 juta hektar pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP).

Kawasan KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di 13 wilayah distrik. Keseluruhan lokasi proyek food estate PSN Merauke berada pada wilayah adat masyarakat adat Malind, Makiew, Khimaima dan Yei.

Diperkirakan lebih dari 50.000 penduduk asli yang berdiam di 40 kampung sekitar dan dalam lokasi proyek akan terdampak dari proyek PSN Merauke.

Tokoh agama dan pemilik tanah adat, Pius Manu, mengatakan proses pembangunan PSN di Merauke dilaksanakan secara brutal dan tanpa adanya sosialisasi dan persetujuan masyarakat.

"Kendaraan excavator dan bulidozer perusahaan masuk ke wilayah adat kami, amuk, menggusur dan menghancurkan hutan alam, dusun dan rawa,” ujar Pinus.

Baca juga: Bapanas Sebut Daerah Rawan Pangan Turun Jadi 62 Kabupaten/Kota

Sementara itu, perwakilan masyarakat adat terdampak dari Kampung Wobikel, Distrik Iiwayab, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Yasinta Gebze mengatakan, pengawalan masuknya kendaraan dan operasi penghancuran hutan untuk proyek cetak sawah baru dilaksanakan tanpa melihat adanya tanda adat larangan. Excavator proyek menabrak dan merobohkan sasi adat.

“Kami terluka dan berduka karena tanah dan hutan adat, tempat hidup binatang dan tempat sakral Alipinek yang kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa," kata Yasinta.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
INDEF: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia Rentan Diganti Teknologi
INDEF: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia Rentan Diganti Teknologi
LSM/Figur
Perangi Greenwashing, Industri Fashion Segera Luncurkan Paspor Produk
Perangi Greenwashing, Industri Fashion Segera Luncurkan Paspor Produk
Pemerintah
Bencana Iklim 2025 Renggut Lebih dari Rp 2.000 Triliun, Asia Paling Terdampak
Bencana Iklim 2025 Renggut Lebih dari Rp 2.000 Triliun, Asia Paling Terdampak
LSM/Figur
BNPB Catat 3.176 Bencana Alam di Indonesia 2025, Banjir dan Longsor Mendominasi
BNPB Catat 3.176 Bencana Alam di Indonesia 2025, Banjir dan Longsor Mendominasi
Pemerintah
Banjir Ekstrem akibat Lelehan Gletser Diprediksi Lebih Mematikan
Banjir Ekstrem akibat Lelehan Gletser Diprediksi Lebih Mematikan
LSM/Figur
Produksi Listrik Panas Bumi KS Orka Renewables Lampaui 1 Juta MWh
Produksi Listrik Panas Bumi KS Orka Renewables Lampaui 1 Juta MWh
Swasta
Bencana Demografi di Indonesia Makin Nyata, Kalah dari Negara Tetangga
Bencana Demografi di Indonesia Makin Nyata, Kalah dari Negara Tetangga
LSM/Figur
Hirup Udara Berpolusi Berpotensi Berdampak pada Kekebalan Tubuh
Hirup Udara Berpolusi Berpotensi Berdampak pada Kekebalan Tubuh
Pemerintah
Kebun Kelapa Sawit Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan, Daya Serap Karbon Rendah
Kebun Kelapa Sawit Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan, Daya Serap Karbon Rendah
LSM/Figur
Musim Hujan Diprediksi Terjadi di Indonesia hingga Maret 2026
Musim Hujan Diprediksi Terjadi di Indonesia hingga Maret 2026
Pemerintah
Halte Bus Hijau, Bisa Menjadi Solusi Dinginkan Area Perkotaan
Halte Bus Hijau, Bisa Menjadi Solusi Dinginkan Area Perkotaan
Pemerintah
Masa Senja Industri Kehutanan Indonesia
Masa Senja Industri Kehutanan Indonesia
Pemerintah
Update Banjir Sumatera, Tim Gabungan Masih Bersihkan Tumpukan Kayu dan Limbah
Update Banjir Sumatera, Tim Gabungan Masih Bersihkan Tumpukan Kayu dan Limbah
Pemerintah
Gelondongan Kayu di Banjir Sumatera Bukti Kerusakan Hutan Sistemik, Bukan Sekadar Anomali Cuaca
Gelondongan Kayu di Banjir Sumatera Bukti Kerusakan Hutan Sistemik, Bukan Sekadar Anomali Cuaca
LSM/Figur
Sektor FOLU Disebut Mampu Turunkan 60 Persen Emisi Nasional
Sektor FOLU Disebut Mampu Turunkan 60 Persen Emisi Nasional
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau