KOMPAS.com - Mulai 2015 sampai 2021, terdapat 31 kasus gugatan perdata yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memiliki nilai ganti rugi hingga Rp 20,7 triliun.
Seharusnya, nilai ganti rugi tersebut digunakan untuk pemulihan lingkungan. Akan tetapi, sebagian besar ganti rugi tersebut belum dibayar dan masuk ke kas negara.
Forest & Environmental Expert Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) Marius Gunawan mengatakan, dari 31 kasus tersebut, 14 di antaranya berstatus inkrah alias memiliki kekuatan hukum tetap.
Baca juga: 6 Aktivis Lingkungan Muda Dunia yang Suarakan Pelestarian Bumi
Salah satu kasus yang dicontohkan Marius adalah PT Arara Abadi yang diputus denda sebesar Rp 1,7 triliun dan kewajiban pemulihan lingkungan.
"Akan tetapi, proses eksekusi belum berjalan sepenuhnya, terutama terkait pembayaran denda dan pemulihan lahan," kata Marius dalam media briefing yang diikuti secara daring, Rabu (30/10/2024).
Contoh lainnya, kata Marius, adalah PT Merbau Pelalawan Lestari yang diputus denda sebesar Rp 16 triliun dalam kasus pembalakan liar di kawasan hutan lindung tanpa izin.
Marius menuturkan, putusan-putusan perdata tersebut seharusnya segera diselesaikan agar pemulihan lingkungan akibat kerusakan bisa dilakukan.
Baca juga: Berbahan Ramah Lingkungan, Miutiss Raih Rekor Muri sebagai Tisu Bambu Putih Pertama di Indonesia
Dia mendesak agar penegakan hukum tersebut dilakukan, khususnya ketegasan dari pihak penegakan hukum.
Sebab, bila penegakan hukum tidak serius, Marius khawatir akan membuat para perusak alam menjadi berleha-leha.
"Akibatnya orang-orang yang melakukan kesalahan karea merusak alam menjadi tidak takut. Karena mereka tahu bahwa yang sudah inkrah pun nampak tenang-tenang saja," tutur Marius.
Marius menyampaikan, setidaknya ada empat alasan mengapa penegakan hukum terkait putusan perdata perusakan alam tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pertama, tekanan ekonomi dan politik. Beberapa perusahaan yang dikenakan denda memiliki kontribusi ekonomi besar di daerah sehingga penegakan hukum dapat menghadapi tekanan dari pihak yang berkepentingan.
Baca juga: “Social Enterprise” yang Ramah Lingkungan Masih Hadapi Stigma Negatif
Kedua, kelemahan internal instansi terkait. Kelemahan dalam koordinasi antarlembaga dan sistem pelaporan yang belum terintegrasi memperlambat proses pengawasan dan eksekusi.
Ketiga, kondisi geografis. Banyak kasus terjadi di daerah terpencil yang sulit dijangkau, sehingga pemulihan lahan menjadi sulit dilakukan.
Keempat, kurangnya sumber daya. Sumber daya manusia, dana, dan teknologi pengawasan yang memadai sering kali masih terbatas untuk memastikan eksekusi yang tepat waktu dan menyeluruh.
Marius menuturkan, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk menguatkan penegakan terhadap putusan hukum.
Beberapa strategi tersebut yakni penguatan sistem penegakan hukum, dukungan jejaring, leterlibatan masyarakat lokal dan non-government organization (NGO), serta upaya pencegahan dan pengamanan.
Baca juga: Komitmen Lestarikan Lingkungan, Aeon Indonesia dan Pakuwon Mall Bekasi Gelar Aksi Penanaman Pohon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya